Senin, 20 Agustus 2007

Rasionalitas Perintah-Perintah Hukum : Masalah Sebab Akibat

Oleh : Amas Syaepul Arifin


Hukum dalam masyarakat beragama adalah Ilahiah. Sesungguhnya, ia didasarkan pada nash Kitab suci. Kitab suci yang diwahyukan ini turun ke seorang nabi dalam suatu masyarakat, masa dan tempat tertentu, dimana ia hidup dan memulai gerakannya. Islam merupakan pesan tuhan yang terkhir di bumi. Kitab sucinya, al-Qur’an abadi.islam menyesuaikan diri dengan kondisi social masyarakat yang berubah sesuai dengan perkembangan zaman.
Proses penyesuaian tersebut dilakukan atas dua dasar, yaitu (1) dengan melaksanakan semangat dan nilai perintah-perintah di mana unsure local terkandung, dan (2) dengan perluasan analogis. Proses ini muncul karena asumsi bahwa hukum Tuhan bertujuan bagi kesejahteraan manusia.karena itu, hukum tersebut rasional dan tunduk pada sebab akibat (ta’lil). Masalahnya adalah sejauh mana perintah-perintah Ilahi itu rasional. Dan apakah hukum Tuhan sejalan dengan penalaran dan sebab akibat? Al-Qur’an mengarahkan diri pada pikiran manusia. Ia tidak menuntut masyarakat meyakini ajaran-ajarannya secara membabi buta. Ia mengajak, baik orang-orang beriman maupun kafir, untuk ‘mereflesikan’, ‘memahami’, ‘merenungkan’, dan menggunakan akal dan indera mereka dan ‘bukan mengunci hati mereka’ ketika meyakini pesan Tuhan. Al-Qur’an mengajak akal, sebelum ia mengajak manusia untuk beriman. Al-Qur’an juga berbicara panjang lebar tentang argumen kebenaran nabi. Dan keyakinan kepada kehidupan sesudah mati dijelaskan secara logis dan panjang lebar. Ritual-ritual dalam al-Qur’an juga didasarkan pada akal. Betul, al-Qur’an menuntut ketaatan tanpa syarat kepada Tuhan dan Nabi, sebagai otoritas dan pemberi hukum tertinggi. Tetapi pada saat yang sama, ia mendesak manusia untuk memahami semangat dan tujuan perintah-perintah tersebut. Tujuan al-Qur’an dalam ketentuan-ketentuan hukumnya, meskipun unsure hukum dalam pengertian istilahnya yang kaku sangat sedikit jumlahnya, adalah kesejahteraan dan kebaikan manusia. Ia bertujuan membangun manusia dan masyarakat ideal yang lebih banyak didasarkan pada moralitas ketimbang hukum. Akibat penekanan yang diberikan oleh al-Qur’an pada pendekatan rasional terhadap perintah-perintah tersebut, sejumlah hadits Nabi tidak diterima sebagai shahih oleh sebagian shahabat. Dengan berkembangnya penalaran yang sitematis dalam hukum, lalu muncul masalah otoritas. Ini menjadi titik perdebatan yang penting dalam teologi. Masalahnya adalah apakah perbuatan baik atau buruk ditentukan oleh akal atau otoritas, yakni pemberi hukum (syar’i) ada tiga pandangan mengenai masalah ini. Mu’tazilah menegaskan bahwa penentu perbuatan baik atau buruk adalah akal.


Al-Asy’ari, sebagai pemikir atomistik, berpendapat bahwa nilai-nilai perintah-perintah hukum atau moral tidaklah obyektif. Tidak ada baik atau buruk per se. baik dan buruknya perbuatan diketahui melalui otoritas. Sedangkan Maturidiyyah menggunakan jalan tengah. Mereka tidak memberikan kepada akal otoritas penuh, tetapi juga tidak mengabaikannya. Mereka berpendapat bahwa akal sangat penting untuk menetapkan kapasitas hukum seseorang. Seseorang tidak dapat memahami komunikasi Tuhan (Khitab) dengan manusia tanpa akal. Karena itu, akal merupakan qua non (sesuatu yang esensial) bagi kewajiban hukum (taklif). Tuhan adalah otoritas mutlak yang menjadikan sesuatu boleh atau tidak boleh, dan menjadikan perbuatan baik dan buruk melaui hukumnya. Akal berperan sebagai instrumen, dan Tuhan sebagai pelaku absolut. Maturidiyyah berpendapat bahwa baik buruknya perbuatan diketahui oleh akal, tetapi tidak menentukan. Akal merupakan petunjuk (dalil) dan jalan (thariq) untuk memperoleh pengetahuan. Dan juga mereka menegaskan bahwa akal tidak dapat sepenuhnya diabaikan. Ia bukanlah otoritas yang berdiri sendiri bagi nilai-nilai untuk menfasilitasi masyarakat, tetapi nilai-nilai tersebut bukan sebab-sebab perintah yang benar-benar mandiri. Menurut al-Ghazali akal hanya petunjuk, Tuhan adalah penentu (murajjih), Nabi adalah pemberitahu (mukhbir), mu’jizat sebagai sebab (sabab), yang memungkinkan orang yang sama memahami ketentuan, watak adalah motif (ba’its) dan akal adalah instrument (alah) yang dengannya seseorang memahami kebenaran pembawa berita. Al-Syatibi berpendapat bahwa dalil-dalil rasional (al-adillah al-‘aqliyyah) harus digunakan dalam hukum, baik dikombinasikan dengan dalil-dalil tradisional, atau dengan membatasi posisinya atau dengan menyelidiki nilai atau motivasinya yang benar. Dengan baik dikatakan bahwa tidak dianjurkan untuk mengikuti suatu hadits tanpa menggunakan pendapat (yakni, akal), demikian juga mengikuti pendapat ( yakni, akal) tanpa merujuk pada suatu tradisi. Penetapan hukum mensyaratkan kombinasi yang baik antara akal dengan tradisi. Dari perdebatan seputar baik dan buruknya perintah-perintah hukum, muncul masalah sebab-akibatnya (ta’lil al-ahkam). Ada empat pandangan mengenai hal ini : pertama, sesungguhnya perintah-perintah hukum yang didasarkan pada nash yang jelas tidaklah mempunyai sebab-akibat, tidak mempunyai sebab dan motif yang mendasari, kecuali jika terdapat dalil yang menunjukkan bahwa perintah-perintah tersebut mempunyai sebab-akibat. Kedua, perintah-perintah hukum bersifat kausal, dan suatu perintah disebabkan oleh setiap kualitas yang mampu berperan menjadi sebab sebab perintah, sehingga ia dapat dinisbatkan kepada sebabnya, kecuali jika ada halangan yang merintangi beberapa kualitas untuk menjadi sebab perintah. Ketiga, perintah-perintah bersifat kausal, dan suatu perintah hanya disebabkan oleh suatu kualitas, dengan syarat ada dalil yang membedakannya dari kualitas-kualitas lain. Dan menunjukkan ia sesuai dengan perintah tersebut. Keempat, perintah-perintah hukum bersifat kausal, dan suatu perintah hanya disebabkan oleh satu kualitas saja. Perintah-perintah hukum bukanlah tujuan dalam diri mereka. Perintah-perintah tersebut mempunyai tujuan dan sasaran di balik mereka. Singkatnya, hukum dimaksudkan untuk kemaslahatan dan kesejahteraan rakyat. Hukum bertujuan untuk memelihara lima hak asasi manusia, yaitu memelihara agama, kehidupan, akal, keturunan, dan harta mereka.


Kepentingan umum terbagi kedalam tiga kategori, kebutuhan-kebutuhan primer (dharuriyyat, necessities), kebutuhan-kebutuhan sekunder (hajiyyat, needs), dan kebutuhan-kebutuhan tambahan (tahsiniyyat, super fluities). Kepentingan umum merupakan sumber hukum yang berdiri sendiri. Ia merupakan sarana untuk memelihara tujuan dan sasaran Syari’ah. Sasaran Syari’ah diketahui melalui al-Qur’an, Sunnah dan Ijma’. Dan secara teknis, ia disebut mashlahah mursalah (kepentingan umum yang lepas dari nash). Tidak setiap perintah hukum dapat dikenai sebab-akibat atau penilaian. Perinatah-perintah itu sendiri dapat dibagi ke dalam tiga kategori, yakni yang dapat dikenai sebab-akibat, tidak dapat dikenai sebab-akibatdan kasus-kasus yang diragukan.qiyas tidak berlaku bagi kasus-kasus yang kasus asalnya tidak dapat dikenai oleh sebab-akibat. Ada perbedaan pendapat tentang masalah sebab-akibat perintah. Ulama Hanafi, sekelompok Syafi’iyyah dan kaum teolog berpandangan bahwa perintah-perintah mempunyai sebsb-sebab, dan perintah-perintah tersebut dinisbatkan kepada sebab-sebabnya secara kiasan. Asy’ariyyah menisbatkan perintah-perintah yang mengungkap hukuman dan hak-hak manusia kepada sebab-sebabnya, tetapi tidak dalam masalah yang berkaitan dengan ibadah dan ritual. Pandangan yang ketiga menolak sama sekali sebab-sebab perintah.para pendukung pandangan ini berpendapat bahwa ketetapan hukum ditentukan oleh kata-kata nash yang jelas. Sebab-sebab tidak mempunyai hubungan dengan langsung dengan perintah-perintah. Sebab-sebab itu merupakan pengganti perintah Tuhan yang tak terlihat. Perintah kewajiban-kewajiban dan tuntutan yang harus dipenuhi ada dua hal yang berbeda. Perintah menjadi mengikat karena sebabnya, tetapi pemenuhannya dituntut dari orang-orang yang beriman oleh wahyu. Kehendak dan kemampuan manusia tidak terlibat dalam mewajibkan perintah ; kehendak dan kemampuan tersebut diperhatikan ketika ia dituntut untuk menaati. Akal dan dan tanda-tanda tidak mengikat keimanan, tetapi perintah Tuhan yang mengikatnya. Dengan dominannya teori atomisme dalam Islam berkat pengaruh al-Asy’ari, keyakina menjadi ajaran dasar. Akal menjadi disubordinasikan kepada keyakinan. Akal, kata Ibnu Taimiyyah, tidak dimaksudkan untuk menetapkan keabsahan hukum (Syari’ah). Ia juga tidak memberikan kepada hukum kualitas yang tidak dimilikinya, atau menambah sesuatu agar hukum tersebut menjadi sempurna. Ibnu Taimiyyah lebih jauh melihat bahwa wahyu supra-rasional. Hukum Tuhan lebih tinggi ketimbang akal. Sebenarnya, ada keselarasan antara hukum Tuhan dengan akal. Ketetapan hukum yang didasarkan pada al-Qur’an dan Sunnah tidak pernah bertentangan dengan akal. Suatu masalah bias jadi bersifat hukum dan rasional, karena ia dipahami oleh akal dan diwahyukan melalui hukum. Ibn Taimiyyah melihat bahwa tidak mesti bahwa sesuatu yang secara rasional salah harus dianggap sebagai kekufuran oleh hukum. Demikian juga, sesuatu yang secara rasional benar tidak otomatis diakui dalam hukum. Fakhruddin al-Razi (w. 606 H) menegaskan bahwa Tuhan tidak memperhitungkan kepentingan umum (mashlahah) dalam perintah-perintah-Nya. Jika perbuatan Tuhan didasarkan pada motif tertentu, dan kesejahteraan umum dipertimbangkan dalam perintah-perintah-Nya, ia tidak akan melanjutkan wahyu, terutama setelah merealisasikan konsekuensinya.akan tetapi argument al-Razi ini tidak dapat dipertahankan karena kita ketahui bahwa al-Qur’an tidak pernah memberi tahu kita bahwa wahyu Tuhan menyebabkan meningkatnya pemberontakan dan kekufuran orang-orang kafir. Sebaliknya, ia menggambarkan watak mereka yang sesat dan sikap keras kepala mereka yang membandel.

Al-Syatibi menegaskan bahwa tidak harus melihat motif dan sasaran perintah-perintah. Seorang beriman harus tunduk pada kehendak Tuhan. Perintah Tuhan, sesungguhnya, merupakan manifestasi kehendaknya. Ia menganggap bahwa melihat pada motif dan tujuan perintah merupakan penghalang bagi ketulusan dalam menta’ati Tuhan. Jika seseorang mentaati perintah Tuhan tanpa melihat motif hukum dan tetap tidak tahu tujuannya, tidak ada bahaya baginya. Ini bisa jadi benar, tetapi hukum tidak dapat diperluas pada kasus-kasus yang tak memiliki preseden tanpa memperhatikan motifnya. Prinsip qiyas diformulasikan untuk tujuan ini. Lebih jauh, tujuan, motif dan ratio (alasan) perintah akan diperhitungkan oleh berbagai cara saat penetapan hukum. Keabadian pesan al-Qur’an mensyaratkan bahwa penekanan harus diberikan pada semangat, nilai dan etos perintah-perintah Tuhan sejalan dengan kata-katanya. Perintah-perintah itu sangat terbatas, sedang situasi tidak pernah berakhir. Karena itu, hukum harus diterapkan melalui pemikiran, dan bukan dengan ketaatan literal.

Hubungan Antara ’Ilmu Kalâm dan Falsafah


Oleh : Amas Syaepul Arifin


Setiap ilmu pengetahuan pasti ada keterkaitan atau hubungan dengan ilmu pengetahuan yang lainnya. Begitu pula yang akan dibahas pada tulisan ini, yaitu adanya hubungan antara falsafah dan ’ilmu kalâm. Disini akan dibahas dari segi atau aspek ’ilmu kalâm dan bagaimana ’ilmu kalâm ini bersinggungan dengan falsafah. Kalâm atau ’ilmu kalâm (ilmu kalam), adalah nama cabang pengetahuan dalam Islam yang biasanya diterjemahkan sebagai ”teologi spekulatif”. Secara harfiah, kalâm berarti ”perkataan”, ”pembicaraan”, atau ”kata-kata” ; yatakallam fi berarti membicarakan atau mendiskusikan suatu masalah atau topik tertentu.

style="font-size:12;">[1]

Diatas telah disinggung beberapa pengertian tentang kalâm secara bahasa atau harfiah, maka Secara harfiah, kata-kata Arab kalâm, berarti "pembicaraan". Tetapi dalam pengertian secara istilah, kalam tidaklah dimaksudkan "pembicaraan" dalam pengertian sehari-hari, melainkan dalam pengertian pembicaraan yang bernalar dengan menggunakan logika.[2] Dan istlah ini juga merujuk pada sistem pemikiran spekulatif yang berfungsi untuk mempertahankan Islam dan tradisi keislaman dari ancaman maupun tantangan dari luar.[3] Jadi bisa disebut bahwa ’ilmu kalâm adalah ilmu yang membahas tentang sesuatu hal dengan menggunakan akal rasional dengan untuk menjaga Islam dan tradisinya dari serangan-serangan budaya luar.

Kalau ’ilmu kalâm dipergunakan dengan akal atau rasio, maka ada kesamaan dengan falsafah yang mengunakan logika dalam keilmuannya. Maka tidak dapat dielakkan keduanya akan bertemu dan saling mengisi antara satu dengan yang lainnya. Dengan demikian, Maka ciri utama ’ilmu kalâm ialah rasionalitas atau logika. Karena kata-kata kalâm sendiri memang dimaksudkan sebagai terjemahan dari sebuah kata yang dalam istilah Yunani disebut logos yang juga secara harfiah berarti "pembicaraan", tapi yang dari kata itulah terambil kata logika dan logis sebagai derivasinya. Kata Yunani logos juga disalin ke dalam kata Arab sebagai manthiq, sehingga ilmu logika, khususnya logika formal atau silogisme ciptaan Aristoteles dinamakan Ilmu Mantiq ('Ilm al-Mantiq). Maka kata Arab "manthiqi" berarti "logis".[4] Dari uraian diatas ada kesamaan arti dari segi bahasa dengan anta kalâm dengan falafah Aristotelian yang disebut dengan Logos.

Setelah diuraikan pengertian ’ilmu kalâm secara bahasa maka dibawah ini akan disampaikan pengertian ’ilmu kalâm secara istilah. Perlu diketahui bahwa orang-orang yang terlibat dalam pembicaraan-pembicaraan tentang masalah ’ilmu kalâm disebut dengan mutakallimûn. Dalam sejarahnya ’ilmu kalâm sering dituduh sebagai tiruan dari tradisi kristen, padahal pada kenyataannya tidak ada bukti yang menguatkan hal tersebut. Pada dasarnya kalâm sudah dikenal sebelum adanya pencampurang dengan ilmu pengetahuan yang lain. Dan pembicaraan ini sudah ada semenjak masa Nabi akan tetapi belum dikenal sebagai sebuah ilmu yang formal. Kata ’ilmu kalâm yang digunakan oleh para sarjana Muslim terkadang disebutkan dengan kata yang berbeda, dengan maksud bahwa hal itu adalah ’ilmu kalâm atau pembahasan tentang ’ilmu kalâm.

Definisi ’ilmu kalâm secara istilah yang disampaikan oleh para ahli Mutakallimûn diantaranya, yang dikemukakan oleh Abû Hanifah (w. 150 H/787 M), yang memberi nama kalâm dengan al-fiqh al-akbar dan menyatakan : ”Fiqh dalam ushûl al-dîn lebih baik dibandingkan fiqih dalam furû al-aħkâm. Fiqih adalah pengetahuan tentang kepercayaan dan praktik yang diperbolehkan dan yang wajib. Apa yang berhubungan dengan kepercayaan disebut al-fiqh al-akbar ; sedangkan yang berhubungan dengan praktik disebut al-fiqh saja.[5] Al-Fârâbî (w. 339 H/950 M) membedakan antara kalâm dan fiqh dan mendefinisikan kalâm dalam Iħshâ Al-’Ulûm sebagai. ”ilmu yang memungkinkan seseorang untuk menopang kepercayaan-kepercayaan tertentu dan perbuatan-perbuatan yang ditetapkan oleh sang pembuat hukum agama dan untuk menolak opini-opini yang bertentang dengannya.”

Al-Baidhâwî (w. 680 H/1281 M) dan Al-Ijî (w. 756 H/1355 M) memberikan definisi kalâm sebagai : ”ilmu yang memungkinkan seseorang untuk menegakkan kepercayaan-kepercayaan agama, dengan mengemukakan argumen / bukti, dan menghilangkan keraguan.” Ibnu Khaldûn (w. 807 H/ 1404 M) mendefinisikan kalâm sebagai : ”ilmu yang melibatkan argumentasi dengan bukti-bukti rasional untuk membela rukun-rukun iman dan menolak para ahli bid’ah yang menyimpang dari kepercayaan kaum Muslim generasi awal dan ortodoksi Muslim.” pada zaman modern, Muhammad ’Abduh (w. 1323 H/1905 M) mengemukakan definisi : ”Ilmu yang mengkaji Wujud dan Sifat Tuhan, penegasan-penegasan yang esensial, dan yang mungkin tentang Dia, dan juga penafian yang mesti dibuat berkaitan dengan-Nya. ’ilmu kalâm juga berhubungan dengan para Rasul dan keautentikan pesan mereka serta pengujian terhadap kualitas mereka yang esensial dan yang benar dan apa yang tidak sesuai dalam kaitannya dengan kualitas tersebut.”

Dari definisi ’ilmu kalâm yang disampaikan para Teolog diatas, maka kita bisa melihat bahwasanya ’ilmu kalâm tidak hanya sekedar membahas atau berbicara tentang sesuatau hal, akan tetapi sebagai pembuktian dan penolakan terhadap sesuatu yang akan menganggu kemurnian agama Islam dimasa tersebut dan yang akan datang. Dengan kata lain bahwa jika ’ilmu kalâm adalah ilmu yang berdasarkan atas rasio dan logika, maka ’ilmu kalâm tidak bisa menahan atau membalas serangan dari luar jika para teolognya tidak menguasai tentang ilmu selain daripada ’ilmu kalâm terutama logika. Dan logika Yunani yang mungkin dipakai untuk menyerang kemurnian Islam hanya mungkin bisa dilawan dengan logika Yunani beserta kedua sumber hukum yang telah disampaikan yang akan menyeimbangi atau bahkan mengalahkan argumen-argumen yang disampaikannya.

Sumber-sumber tradisional yang di gunakan dalam ’ilmu kalâm pada kemudian hari bercampur dengan argumen logika yang kemudian dikenal dengan nama teologi dialektik. Akan tetapi fungsi logika hanya sebagai ”norma atau ukuran”, atau lebih populer disebut sebagai ”alat”. Logika berfungsi menguatkan argumen filsafat dan ilmu yang lainnya.[6] Disini bisa dilihat bahwasanya logika yang digunakan dalam filsafat bisa juga masuk kedalam ’ilmu kalâm, dengan adanya keterkaitan antara ’ilmu kalâm dengan logika, maka ’ilmu kalâm juga sangat erat hubungannya dengan filsafat.

Setelah disinggung melalui pendekatan definisi, maka disini akan disampaikan tahap-tahap perkembangan ’ilmu kalâm, sebagai berikut[7] :

1. Tahap permulaan, yang meliputi tahun-tahun pertama dan tahun-tahun paling awal abad ke-2 H/ke-8 M.

2. Tahap pencatatan dan kelahiran berbagai aliran dan sekte kalâm. Ini berlangsung selama empat abad, dari tahun-tahun awal abad ke-2 H hingga akhir abad ke-5 H/ke-8 M.

3. Tahap evolusi dan pencampuran dengan filsafat, yang berlangsung selama abad ke-6-9 H/ke-12-15 M.

4. Tahap kemunduran dan peniruan, dari abad ke-10 H/ke-16 M hingga akhir abad ke-12 H/ke-18 M.

5. Periode Modern, yang sudah berlangsung dua abad terakhir ini.

Dari tahap-tahap yang dikemukakan diatas, maka kita menemukan salah satu tahap adanya hubungan antara filsafat dan ’ilmu kalâm yang berlangsung kurang lebih selama 3 abad. Pada abad-abad awal ada golongan yang disebut dengan mu’tazillah yang disebut mempunyai ciri pemikiran yang rasional, dan menjadi salah satu ciri pemikiran Mu'tazili yaitu rasionalitas dan berpaham Qadariyyah. Walaupun mu’tazillah bercorak rasional bukan berarti mereka yang pertama kali benar-benar menggunakan filsafat sebagai alat dalam menyampaikan pendapatnya, dan orang yang pertama kali benar-benar menggunakan unsur-unsur Yunani dalam penalaran keagamaan ialah seseorang bernama Jahm ibn Shafwan yang justru penganut paham Jabariyyah, yaitu pandangan bahwa manusia tidak berdaya sedikit pun juga berhadapan dengan kehendak dan ketentuan Tuhan. Jahm mendapatkan bahan untuk penalaran Jabariyyah-nya dari Aristotelianisme, yaitu bagian dari paham Aristoteles yang mengatakan bahwa Tuhan adalah suatu kekuatan yang serupa dengan kekuatan alam, yang hanya mengenal keadaan-keadaan umum (universal) tanpa mengenal keadaan-keadaan khusus (partikular).[8]

Maka sejak pertama kali munculnya pertentangan teologi antara madzhab-madzhab dalam Islam, sudah terlihat mereka menggunakan metode filsafat Yunani sebagai alat untuk mengungkapkan pendapatnya, dan menghancurkan pendapat orang lain. Selain hal diatas, sebenarnya para teolog sering bersinggungan dengan metode atau pandangan-pandangan dari para filusuf Yunani, salah satu contohnya yaitu ketika orang-orang Islam berkenalan dengan dua pendapat yang bertentangan dari para filusuf Yunani. Disatu pihak, ada filusuf yang percaya akan adanya Tuhan sebagai sebab niscaya yang jauh dari peristiwa-peristiwa di dunia. Tuhan yang menjadi sebab tak langsung semua peristiwa di dunia melaui benda-benda yang bertindak sebagai perantara dan sebab langsung dari peristiwa-peristiwa tersebut.

Di lain pihak, ada filusuf-filusuf Epikurian, yang menolak sama sekali eksistensi Tuhan dan menolak bahwa benda-benda tersebut merupakan sebab-sebab langsung bagi peristiwa. Bagi mereka semua peristiwa di dunia ini terjadi secara kebetulan saja. Dalammenanggapi kasus ini, para teolog Muslim membenarkan kepercayaan akan adanya Tuhan sebagaimana dikuatkan oleh pandangan pertama, tetapi menolak konsepsi Tuhan sebagai sebab tak langsung. Mereka juga menolak konsepsi bahwa benda-benda memiliki kekuatan kausal. Terhadap pandangan yang kedua, mereka membenarkan penolakan Epikurus terhadap kekuatan kausal benda-benda di dunia, tetapi mereka menyangkal penolakannya terhadap eksistensi Tuhan, dan juga pernyataan Epikurus dan para pengikutnya bahwa semua peristiwa di dunia ini terjadi secara kebetulan belaka.[9]

Bisa kita lihat adanya keterbukaan dari para sarjana Muslim terhadap ilmu pengetahuan terutama filsafat, akan tetapi mereka membawa atau mengambil ilmu yang meungkinkan untuk mempertahankan tauhid dan kemurnian ajaran Islam. Dan membuang sesuatu yang bertolak belakang dengan keyakinan atau ketentuan syar’i. Kejadian-kejadian ini sudah terjadi ketika umat Islam menyebar dan membebaskan negri-negri yang berada diluar jazirah Arab, dan mereka mulai bergaul dan bercampur dengan pemikiran-pemikiran Hellenisme yang ada pada tradisi dan intelektual mereka.

Dari uraian-uraian di atas, maka kita bisa melihat bahwasanya adanya keterkaitan atau kedekatan antara ’ilmu kalâm dengan filsafat. Serta hubungan yang erat antara satu dengan yang lainnya. Dimana ’ilmu kalâm dibantu oleh logika dengan menggunakannya sebagai alat dalam penyampaian dan pengembangan ’ilmu kalâm. Sedangkan ’ilmu kalâm bisa dianggap sebagai salah satu ilmu pengetahuan yang menyebarkan dan mengukuhkan teori atau metode logika dalam filsafat. Dan mungkin hubungan ini juga serupa dengan kajian ilmu yang lainnya.

Referensi :

1. Nasr, Sayyed Hossein dan Leaman, Oliver. 1996. ”Kalam Awal : Ensiklopedi Tematis Filsafat Islam : Buku pertama”. Bandung : Mizan

2. Ilmu Kalam : Ensiklopedi Tematis Dunia Islam, Pemikiran dan Peradaban / jilid IV”. Jakarta : PT Ichtiar Van Hoeve

3. Maghfur W, M. 2002. ”Koreksi Atas Kesalahan Pemikiran Kalam dan Filsafat Islam”. Bangil : Al-Izzah

4. http://media.isnet.org/islam/Paramadina/Doktrin/Kalam1.html


[1] Haleem, M. Abdel ”Kalam Awal : Ensiklopedi Tematis Filsafat Islam, Buku Pertama”. Hal. 85.

[2] http://media.isnet.org/islam/Paramadina/Doktrin/Kalam1.html

[3]’ilmu kalâm: Ensiklopedi Tematis Dunia Islam”. Hal. 117.

[4] http://media.isnet.org/islam/Paramadina/Doktrin/Kalam1.html

[5] Kalam Awal : Ensiklopedi Tematis Filsafat Islam, Buku Pertama” hal. 91

[6]Ilmu Kalam: Ensiklopedi Tematis Dunia Islam, Jilid III”. Hal. 119.

[7] Kalam Awal : Ensiklopedi Tematis Filsafat Islam, Buku Pertama”. Hal. 96.

[8] http://media.isnet.org/islam/Paramadina/Doktrin/Kalam1.html

[9]Ilmu Kalam : Ensiklopedi Tematis Dunia Islam, Jilid III” hal. 132-133.


Melihat kebenaran proposisi dengan menggunakan Logika Aristoteles

Oleh : Amas Syaepul Arifin


Melihat kebenaran proposisi dengan menggunakan Logika Aristoteles dari pandangan dua orang cendekia Muslim Indonesia, yaitu:

Luthfi Assyaukanie

Dalam www.islamlib.com






Dan


Adian Husaini

Dalam www.hidayatullah.com






Beberapa pandangan Luthfi Assyaukanie :

1. Sebagian fatwa MUI penyebab dari kasus penyerangan Ahmadiyah = I

Fatwa MUI bukan penyebab dari kasus penyerangan Ahmadiyah = E

v Kontradiksi

Sebagian fatwa MUI penyebab dari kasus penyerangan Ahmadiyah = I

Sebagian fatwa MUI bukan penyebab dari kasus penyerangan Ahmadiyah = O

v Subkontrari

2. Teologi haji perlu dirombak = A

Teologi haji tidak perlu dirombak = E

v Kontrari

Teologi haji perlu dirombak = A

Sebagian teologi haji tidak perlu dirombak = O

v Kontradiksi

3. Kurikulum dan buku-buku pelajaran agama Islam yang ada di sekolah penuh dengan kebencian dan permusuhan kepada non Muslim = A

Kurikulum dan buku-buku pelajaran agama Islam yang ada di sekolah tidak penuh dengan kebencian dan permusuhan kepada non Muslim = E

v Kontrari

Kurikulum dan buku-buku pelajaran agama Islam yang ada di sekolah penuh dengan kebencian dan permusuhan kepada non Muslim = A

Sebagian kurikulum dan buku-buku pelajaran agama Islam yang ada di sekolah tidak penuh dengan kebencian dan permusuhan kepada non Muslim = O

v Kontradiksi

4. Fundamentalisme dan neoliberlisme merupakan ancaman

bagi kehidupan manusia = A

Fundamentalisme dan neoliberlisme bukan merupakan ancaman

bagi kehidupan manusia = E

v Kontrari

Fundamentalisme dan neoliberlisme merupakan ancaman

bagi kehidupan manusia = A

Sebagian Fundamentalisme dan neoliberlisme bukan merupakan ancaman

bagi kehidupan manusia = O

v Kontradiksi

5. Konsep Islam Madani / Hadhari harus berlandaskan kebebasan = A

Konsep Islam Madani / Hadhari tidak harus berlandaskan kebebasan = E

v Kontrari

Konsep Islam Madani / Hadhari harus berlandaskan kebebasan = A

Sebagian konsep Islam Madani / Hadhari harus berlandaskan kebebasan = O

v Kontradiksi

6. Fatwa MUI tentang NKRI keluar dalam waktu yang tepat = A

Fatwa MUI tentang NKRI keluar dalam waktu yang tidak tepat = E

v Kontrari

Fatwa MUI tentang NKRI keluar dalam waktu yang tepat = A

Sebagian fatwa MUI tentang NKRI keluar dalam waktu yang tidak tepat = O

v Kontradiksi

7. Gempa bumi memiliki aspek teologis yang bersifat apokaliptik dan juga memiliki aspek ilmiah yang bersifat alami. = A

Gempa bumi tidak memiliki aspek teologis yang bersifat apokaliptik dan juga memiliki aspek ilmiah yang bersifat alami. = E

v Kontrari

Gempa bumi memiliki aspek teologis yang bersifat apokaliptik dan juga memiliki aspek ilmiah yang bersifat alami. = A

Sebagian gempa bumi tidak memiliki aspek teologis yang bersifat apokaliptik dan juga memiliki aspek ilmiah yang bersifat alami. = O

v Kontradiksi

8. Sebagian kelompok Islam di

indonesia

gagal memahami falsafah dasar Negara. = I

Sebagian kelompok Islam di negeri ini

tidak gagal memahami falsafah dasar negara kita = O

v Subkontrari

Sebagian kelompok Islam di negeri ini

gagal memahami falsafah dasar negara kita = I

kelompok Islam di negeri ini

tidak gagal memahami falsafah dasar negara kita = E

v Kontradiksi

9. Pembaruan Islam sangat penting = A

Pembaruan Islam sangat tidak penting = E

v Kontrari

Pembaruan Islam sangat penting = A

Sebagian pembaruan Islam sangat tidak penting = O

v Kontradiksi

10. Sebagian anggota Muhammadiyah bersifat puritan = I

Sebagian anggota Muhammadiyah tidak bersifat puritan = O

v Subkontrari

Sebagian anggota Muhammadiyah bersifat puritan = I

Seluruh anggota Muhammadiyah tidak bersifat puritan = E

v Kontradiksi

Beberapa pandangan Adian Husaini :

1) ”Ensiklopedi Islam untuk Pelajar” yang ditulis oleh Nurcholish Madjid dkk banyak informasi keliru. = A

”Ensiklopedi Islam untuk Pelajar” yang ditulis oleh Nurcholish Madjid dkk tidak banyak informasi keliru = E

v Kontrari

”Ensiklopedi Islam untuk Pelajar” yang ditulis oleh Nurcholish Madjid dkk banyak informasi keliru. = A

Sebagian ”Ensiklopedi Islam untuk Pelajar” yang ditulis oleh Nurcholish Madjid dkk tidak banyak informasi keliru. = O

v Kontradiksi

2) Al-Qur’an bersifat otentisitas dan finalitas = A

Al-Qur’an tidak bersifat otentisitas dan finalitas = E

v Kontrari

Al-Qur’an bersifat otentisitas dan finalitas = A

Sebagian Al-Qur’an tidak bersifat otentisitas dan finalitas = O

v Kontradiksi

3) Buku Fiqih Lintas Agama yang ditulis Nurcholish Madjid dkk menuduh Imam Syafi’i membelenggu umat Islam. = A

Buku Fiqih Lintas Agama yang ditulis Nurcholish Madjid dkk menuduh Imam Syafi’i tidak membelenggu umat Islam. = E

v Kontrari

4) Buku Fiqih Lintas Agama yang ditulis Nurcholish Madjid dkk menuduh Imam Syafi’i membelenggu umat Islam. = A

Sebagian buku Fiqih Lintas Agama yang ditulis Nurcholish Madjid dkk menuduh Imam Syafi’i tidak membelenggu umat Islam. = O

v Kontradiksi

5) Nurcholish Madjid dikultuskan bahkan diberhalakan. = A

Nurcholish Madjid tidak dikultuskan bahkan tidak diberhalakan. = E

v Kontrari

Nurcholish Madjid dikultuskan bahkan diberhalakan. = A Sebagian Nurcholish Madjid tidak dikultuskan bahkan tidak diberhalakan. = O

v Kontradiksi

5) Pemikiran-pemikiran Nurcholish Madjid harus dikaji secara kritis = A

Pemikiran-pemikiran Nurcholish Madjid tidak harus dikaji secara kritis = E

v Kontrari

Pemikiran-pemikiran Nurcholish Madjid harus dikaji secara kritis = A

Sebagian pemikiran-pemikiran Nurcholish Madjid tidak

harus dikaji secara kritis = O

v Kontradiksi

6) Istilah dan kosep asing penyebab kekacauan berfikir kaum Muslim = A

Istilah dan kosep asing bukan penyebab kekacauan berfikir kaum Muslim = E

v Kontrari

Istilah dan kosep asing penyebab kekacauan berfikir kaum Muslim = A

Sebagain istilah dan kosep asing bukan

penyebab kekacauan berfikir kaum Muslim = O

v Kontradiksi

7) Dalam Islam agama adalah urusan dunia dan akherat = A

Dalam Islam agama adalah bukan urusan dunia dan akherat = E

v Kontrari

Dalam Islam agama adalah urusan dunia dan akherat = A

Sebagian dalam Islam agama adalah urusan dunia dan akherat = O

v Kontradiksi

KETERANGAN :

A = Universal Positif

E = Universal Negatif

I = Partikular Positif

O = Partikular Negatif

Hukum-Hukum Perlawanan :

1. KONTRADIKSI ( A – O ; E – I )

· Kedua proposisi tidak dapat kedua-duanya Benar (B) atau Salah (S)

· Salah satu proposisi mesti B dan yang lainnya S

· Benarnya salah satu proposisi mengimplikasikan salahnya yang lain ; dan sebaliknya

2. KONTRARI ( A – E )

· Kedua proposisi tidak mungkin keduanya B, tapi mungkin keduanya S

3. SUBKONTRARI ( I – O )

· Kedua proposisi tidak mungkin keduanya S, tapi mungkin keduanya B

4. SUBALTERNASI ( A – I ; E – O )

· Jika proposisi universal B, maka proposisi partikular juga B

· Jika proposisi partikular S, maka proposisi universal juga S


Dzun-Nun al-Mishri


Oleh : Amas Syaepul Arifin

Dzun-Nun Al-Mishri (w.245 H) ialah seorang sufi besar dari Mesir, Dia seorang ahli kimia dan fisika dan dia juga seorang sufi yang pertama kali menganalisis ma’rifah secara konsepsional. Nama Dzun-Nun mempunyai makana tersendiri, yaitu arti dari namanya adalah ”seseorang yang mempunyai huruf Nun dari mesir”. Huruf Nun ini mempunyai makna tersendiri pula bahwa huruf Nun adalah sebuah simbol yang mempunyai makna spiritual power. Huruf Nun dimaknai sebagai relasi antara Tuhan dan hambanya, dimana huruf Nun ini mempunyai sebuah titik ditengah dan garis yang melingkarinya. Simbol tersebut dimaknai sebagai sebuah roda kehidupan yang mempunyai titik tujuan sebagai asal, awal dan titik sentral dari kehidupan.

Kaum sufi juga memaknai simbol ini sebagai simbol kesadaran dalam kehidupannya. Begitu pula dengan Dzun-Nun Al-Mishri, dia mengetahui dan sadar akan makna dari simbol yang dimilikinya apalagi sebagai nama dari dirinya sendiri. Yang kemudian makna dari namanya itu membawayanya serta mendorongnya untuk menjadi seorang sufi yang ikhlas dan tunduk kepada Allah. Dia sadar bahwasanya setiap kehidupannya akan berawal dan berujung kepada sebuah titik sentral, yaitu sebuah titik sentral pada huruf Nun tersebut, dan titik sentral itu dimaknai sebagai Allah SWT. Yang dimana titik sentral tersebut adalah yang awal dan yang akhir. Sebagaimana firman Allah SWT :

“huwa al-awwalu waal-aakhiru waalzhzhaahiru waalbaathinu wahuwa bikulli syay-in 'aliimun”

Artinya : Dialah Yang Awal dan Yang Akhir, Yang Lahir dan Yang Batin; dan Dia Maha Mengetahui segala sesuatu (QS. Al-Hadiid : 3 ).

Jadi bisa kita sebut bahwa makna ayat tersebut sangat erat hubungannya dengan huruf Nun yang menjadi sebuah simbol sebagai sentral dari kehidupan, dan titik sentral tersebut adalah sesuatu yang yang awal dan yang akhir. Selain itu huruf Nun juga mempunyai makna yang sangat besar, sampai-sampai Allah-pun bersumpah setelah mengatakan huruf Nun ini. dalam firman Allah :

“nuun waalqalami wamaa yasthuruuna”

Artinya : “Nun, demi kalam dan apa yang mereka tulis”, (QS. Al-Qalam (Kalam) : 1)

Dari uarian diatas, maka kita bisa mengambil sebuah pelajaran bahwasanya sebuah nama itu mempunyai sebuah arti dalam perjalanan hidup kita. Begitu pula dengan Dzun-Nun Al-Mishri yang tidak semena-mena dalam pemberian nama akan tetapi dia menjadi seorang sufi yang yang sangat dikagumi dimasanya. Dan itulah yang hanya dapat penulis sampaikan tentang seorang yang bernama Dzun-Nun Al-Misri.

Konsep Ma’rifah Dzun-Nun Al-Mishri

Setelah memaparkan sekelumit makna dari nama Dzun-Nun Al-Mishri, maka dibawah ini penulis akan menyampaikan sedikit tentang konsep ma’rifah Dzun-Nun Al-Mishri. Konsep ma’rifah Dzun-Nun tidak bisa lepas dengan makna yang ia dapati dari namanya itu karena namanya itu menunjukkan sebuah kepemilikan dan penguasaan terhadap makna dari huruf tersebut. Sebagaimana kita ketahui bahwa huruf Nun yang menjadi sentral kehidupan di dunia ini, maka untuk mencapai sentral tersebut manusia juga harus memakai sentral dari diri manusia untuk bertemu dengan sentral kehidupan ini.

Sentral yang disebut diatas adalah Qalbu, dimana qalbu ini adalah sentral dari manusia dan untuk bertemu dengan sentral yang hakiki maka manusia harus mengoptimalkan sentralnya supaya sampai kepada sentral yang hakiki. Mengapa Qalbu atau hati disebut sebagai sebuah sentral, karena pada qalbu ini berkumpul seluruh kelakuan dan tindakan manusia. Maka menurut Dzun-Nun yang biasa dilakukan oleh hati tersebut adalah : emosi, dekat, shahabat, cinta, mengenal, penyingkapan, menyaksikan, al-ittihad, al-hulul, wahdatul wujud, dan wujudiyah. Ada sebuah perbedaan pengertian yang dimaksud oleh Dzun-Nun dengan penyingkapan, perbedaan ini dibagi kepada tiga bagian, yaitu : al-Mukasyafah, inkisyaf, dan al-kasy-syaf. Yang dimaksud dengan al-Mukasyafah adalah saling keterbukaan dimana seorang hamba yang meminta dan Allah yang memberi; inkisyaf, adalah penyingkapan atau keterbukaan Allah sebagai karunia kepada hambanya dan seorang hamba hanya menerima saja, tidak dengan meminta. Dimana pada bagian ini keterbukaan hanya diartikan sebagai karunia Allah dan manusia tidak meminta untuk keterbukaan tersebut; al-kasysyaf, pada hal ini tidak menggambarkan proses tentang bagaimana keterbukaannya akan tetapi adanya sebuah pengalaman keterbukaan.

Pada penjelasan diatas disebutkan bahwasanya sentral kehidupan hanya bisa dirasakan oleh sentral manusia, yaitu dimana hati manusia bisa merasakan keterbukaan dengan Allah hanya dengan penglihatan hati yang menjadi sentral kehidupan manusia. Menurut Dzun-Nun hati juga tidak serta merta bisa melihat Allah karena hati yang paling dalamlah yang bisa sampai melihat kepada Allah SWT. Sebelum kita langsung kepada hati yang dalam, maka akan disebutkan beberapa lapisan hati yang harus dilalui seseorang sebelum bisa ma’rifah kepada Allah SWT.

Dan lapisan-lapisan tersebut adalah : as-Suduur, al-Quluub, adh-Dhamaair, al-Fuwaaid, as-sir, sir al-asraar, dan Basyirah. Yang dimaksud dengan as-suduur hati yang paling luar, pada fase ini hati mengalami penyempitan dan perluasan, dia tidak bisa konsisten dalam pendiriannya masih tergoncang dan belum istiqamah. Setelah lulus atau berhasil dalam tahapan ini, maka akan masuk lebih dalam lagi kepada tahapah yang kedua, yaitu al-Quluub. Setelah masuk kepada tahapan ini, maka hati seseorang tersebut akan kokoh dan lebih istiqamah dalam pendiriannya. Selain itu orang yang sudah sampai pada tahap ini maka dia akan merasakan ketenangan dalam hatinya. Kemudian setelah lapisan kedua ini berhasil dan tetap konsisten dengan keduanya, yaitu tahap pertama dan kedua. Maka tahap selanjutnya adalah adh-Dhomaair, yaitu dimana bagian ini juga disebut sebagai bagian terdalam pada tahapan qalbu. Dia menyimpan dan menempatkan cahaya qalbu, kalau dia sudah sampai pada tahap ini, maka dia akan memiliki kepekaan atau biasa disebut dengan indera keenam. Setelah tahap ini maka selanjutnya adalah al-Fuwaaid, pada tahapan ini orang sudah separuh perjalanan untuk menggapai puncak ma’rifah. Jika seseorang sudah sampai tingkatan ini maka orang tersebut tidak akan bisa dibohongi atas apa yang dia lihat atau rasakan. Kemudian tahap selanjutnya as-Sir dan Sir al-Asraar, tahapan ini adalah tahapan yang hampir mendekati kesempurnaan dan mencapai ma’rifah. Tahapan ini adalah proses untuk mempersiapkan diri kepada tahapan akhir, Maka tahapan terakhir, yaitu ketika setiap tahapan tetap terjaga dan saling melengkapi antara satu dengan yang lainnya, maka sampailah pada tahapan Basyirah, yaitu tahapan akhir yang bisa menyampaikan manusia untuk bisa melihat dan merasakan Allah SWT. Dan hal ini disebut dengan ma’rifah.

Menurut Dzun-Nun ma’rifah itu bisa diklasifikasikan kepada tiga bagian, yaitu : pertama, ma’rifah tauhid sebagai ma’rifahnya orang awam. Kedua, al-burhan wa al-istidlal yang merupakan ma’rifahnya Mutakallimin dan para Filosof, yaitu pengetahuan tentang Tuhan melalui pemikiran dan pembuktian akal. dan ketiga, ma’rifah para wali, yaitu pengetahuan dan pengenalan tentang Tuhan melalui sifat dan ke-Esaan Tuhan. Dengan demikian, apabila dilihat dari sisi epistimologi, ada tiga metoda ma’rifah yang berbeda, yakni metoda transmisi, metoda akal budi, dan metoda ketersingkapan langsung. Ma’rifah awam lebih bersifat penerimaan dan kepatuhan semata tanpa dibarengi argumentasi, sedangkan ma’rifah Mutakallimin dan filosof adalah pemahaman yang sifatnya rasional melalui berfikir spekulatif. Lain halnya dengan ma’rifah para sufi atau aulia, adalah penangkapan dan penghayatan langsung terhadap obyek sehingga ia merasakan dan melihat obyek itu. Dan disini Dzun-Nun menegaskan bahwasanya ma’rifah itu sepenuhnya adalah karunia dan pemberian Allah SWT.

Jadi kesimpulan menurut Dzun-Nun bahwasanya kalau kita ingin sampai pada tingkat ma’rifah, maka kita harus melaluinya setahap demi setahap dan dilakukan dengan kesungguhan dan keseriusan. Dan dia juga mengatakan bahwasanya adanya perbedaan ma’rifah kepada Allah yang disebabkan oleh kemampuan dan kesadaran dia sebagai makhluk. Ma’rifah juga sepenuhnya diberikan oleh Allah SWT atas karunianya dan kasih sayangnya. Maka seorang hamba tidak akan sampai pada tingkat ma’rifah tanpa usaha dan anugrah serta karunia Allah SWT.