Sabtu, 19 April 2008

Motivasi Beragama

Tema di atas bukanlah tema yang ditujukan untuk merepresentasikan atau menjelaskan keseluruhan motivasi dari orang beragama, akan tetapi hanya sesuatu yang dirasakan dan dialami oleh penulis. Dalam tulisan ini subjek dan objeknya adalah penulis sendiri sehingga pada tulisan ini dimungkinkan tidak akan bisa menyampaikan secara benar apa sebenarnya motivasi penulis dalam beragama, karena penulis masih merasa kurang dalam memahami keberagamaan penulis serta masih dalam tahap pencarian dan pencapaian kebenaran yang haqiqi.


Walaupun dalam masa kebimbangan dan pencarian, setidaknya penulis sedikit merasakan dan menjalani kehidupan sebagai orang yang beragama, penulis bisa melihat dan merasakan apa sebenarnya yang menjadi motivasi penulis dalam bergama. Motivasi yang penulis rasakan dalam beragama diantaranya, sebagai penentuan jati diri atau identitas, sebagai penenteram hati bagi kehidupan penulis, Sebagai latihan kedisiplinan, sebagai penentu sikap dalam memandang kehidupan, dan sebagai motivator dalam menjalani kehidupan.

Sebagai penentuan jati diri atau pencarian identitas yang dimaksud adalah dimana penulis merasakan bahwa dengan beragama kita mempunyai nama atau identitas tersendiri, bahkan penulis memandang bahwa beragama adalah sesuatu yang fitrah dan bergama adalah sesuatu yang dibutuhkan oleh setiap manusia, jadi ketika penulis menganut sebuah agama penulis merasa menemukan jati diri penulis dan sebagai penentuan identitas diri dalam berinteraksi dengan yang lainnya. Sebagai penenteram hati bagi penulis, karena penulis merasa bahwa ada sandaran hidup yang pasti dan tidak berubah serta ada tuntunan dan bimbingan dalam menghadapi segala problema kehidupan yang ada.

Dengan dogma dan perintah ritual keagamaan yang ada pada sebuah agama memberikan pelatihan bagi penulis untuk belajar disiplin dan konsekuen dalam menghadapi dan menjalani kehidupan. Dogma dan ketentuan yang ada pada agama juga memberikan kita sebuah sikap yang pasti dan mempunyai cara pandang yang berbeda dalam menjalani kehidupan di dunia yang akan dibawa atau berdampak kepada akhirat. Dan yang terakhir adalah bahwa dengan beragama penulis merasa ada sesuatu yang mendukung penulis dalam menjalani kehidupan ini, dukungan atau motivasi yang disampaikan atau diberikan oleh agama juga adalah motivasi-motivasi yang membangun dan mendorong penulis untuk mencapai kesuksesan dalam menjalani kehidupan.

Demikianlah sedikit uraian motivasi penulis dalam beragama, walaupun penulis merasa masih ada motivasi penulis dalam bergama yang lebih partikular dan lebih spesifik. Akan tetapi uraian di atas sedikit menjelaskan apa sebenarnya yang menjadi motivasi penulis dalam beragama. Dan mudah-mudahan uraian pendek di atas bisa menjadikan awal dan sebuah pendorong bagi kesadaran penulis dalam beragama, serta memberikan sedikit jalan bagi penulis untuk mencapai tujuan hidup dan kebenaran yang haqiqi.

Post-Strukturalisme

Post-Strukturalisme

Setiap tesis dipastikan akan ada anti-tesis sebagai lawan atau pengembangannya, begitu pula dengan sebuah pemikiran yang muncul pada masanya maka akan ada pemikiran baru baik itu yang berlawanan dengan pemikiran sebelumnya ataupun pengembangan dari pemikiran tersebut. Post-strukturalisme adalah sebuah pikiran yang muncul akibat ketidak puasan atau ketidak setujuan pada pemikiran sebelumnya, yaitu strukturalisme. Strukturalisme dibangun atas prinsip Saussure (Ferdinand de Saussure, 1857-1913) bahwa bahasa sebagai sebuah sistem tanda harus dilihat ke dalam tahapan tunggal sementara (single temporal plane). Aspek diakronis bahasa, yakni bagaimana bahasa berkembang dan berubah dari masa ke masa, dilihat sebagai bagian yang kurang penting. . Dalam pemikiran post strukturalis, berpikir sementara menjadi hal yang utama.


Beberapa tokoh yang mendukung atau condong pemikirannya kepada Post-Strukturalisme diantaranya adalah seorang flusuf Prancis Jacques Derrida, pemikiran psikoanalisis Jacques Lacan, ahli teori kebudayaan Michael Foucault dan Jean-Francois Lyotard.

Derrida menekankan “logosentrime” (berpusat pada logos) pemikiran barat bahwa makna dipahami sebagai independensi bahasa yang dikomunikasikan dan tidak tunduk pada permainan bahasa. Derrida sepakat dengan Saussure bahwa bahasa merupakan produk yang berbeda antar penanda, tapi dia berpikir melampaui Saussure dalam menegaskan bahwa dimensi sesaat (temporal dimension) tak dapat ditinggalkan. Ciri dari Derrida melampaui pemikiran Saussure adalah pemikiran Derrida yang percaya bahwa penanda (signs) dan petanda (signified) dapat digabung dalam tahapan yang sama dalam praktek tindak tutur (act of speaking). Dan Derrida memandang bahwa Saussure tidak bisa melepaskan dirinya dari pandangan logosentris, sejak Saussure lebih mengunggulkan bahasa di atas tulisan.

Selain itu Derrida juga menyerang pandangan logosentrisme dan menilai bahwa tulisan merupakan model yang lebih baik untuk memahami bagaimana bahasa berfungsi. Dalam tulisan, penanda selalu produktif, mengenalkan aspek sesaat ke dalam penandaan yang menentukan berbagai penggabungan antara sign dan signified.

Pemikiran post-strukturalis juga berkembang di Amerika pada tahun 1970-an, khususnya di kalangan kritikus yang tinggal di Yale, atau disebut para dekonstruksionis Yale. Teoritikus terkemuka Yale adalah Paul de Man yang berpendapat bahwa teks sastra telah tergabung dengan “pertentangan” Derrida.

Jadi secara garis besarnya pemikiran post-strukturalisme adalah pemikiran yang tidak hanya terpaku kepada tulisan ataupun bahasa yang dituliskan akan tetapi selain tulisan, post-strukturalis juga tidak meninggalkan maksud dari sang penulis yang membuat sebuah tulisan. Lebih jelasnya selanjutnya penulis akan mencoba menguraikan beberapa tokoh post-strukturalisme serta pemikiran-pemikirannya.

Tokoh Post-strukturalisme

Meskipun banyaknya para pemikir post-strukturalisme, akan tetapi dalam makalah ini penulis hanya akan menyampaikan salah satu tokoh dari post-strukturalisme, yaitu Jacques Derrida.

a. Riwayat Hidup dan Karyanya

Jacques Derrida lahir di al-Jazair pada tanggal 15 Juli 1930, dan ia adalah seorang Filusuf Prancis keturunan Yahudi. Pada tahun 1949 Ia pindah ke Prancis dan menetap di Prancis hingga akhir hayatnya. Beliau kuliah dan belajar di Prancis hingga akhirnya dia menjadi maitre-assistant, dosen tetap di bidang Filsafat. Selain dosen tetap di bidang filsafat, beliau juga dalam beberapa waktu sebagai dosen tamu di Yale University, Amerika Serikat. Dan pada masa mudanya Derrida pernah menjadi anggota Partai Komunis Prancis.

Pada tahun 1962, Derrida menerbitkan terjemahan karangan Husserl Asal-Usul Ilmu Ukur Introduction au probleme du signe dans la phenomenology de Husserl (suara dan fenomena. Pengantar pada masalah tanda dalam Fenomenologi Husserl) memberi komentar panjang lebar atas uraian Husserl tentang tanda dalam buku Penelitian-Penelitian Logika, Bab I, pasal 1 s/d 9. bersama suatu pendahuluan. Kemudian tahun 1967 Derrida menerbitkan tiga buku sekaligus, yaitu L'écriture et la différance (tulisan dan perbedaan), De la grammatologie (tentang gramatologi), dan La voix et le phenomène. Selain itu

Pada tahun 1972 terbit tiga buku lagi, yaitu Marges de la philosophie (pinggiran-pinggiran filsafat), la dissemination (penyebaran) dan Positions (posisi-posisi). L’archeologie du frivole (1967) (arkeologi tentang yang sembrono), Glas (1974), Eperons (1976), Eperons. Les styles de Nitzsche (1978), La verite en peinture (1978) (Kebenaran dalam Seni Lukis).La carte postale de Socrate a Freud et au-dela (1980) (Kartu pos dari Socrates kepada Freud dan di seberang-nya), De l’esprit. Heidegger et la question (1987) (tentang spirit. Heidegger dan pertanyaan), Spectress de Marx Spectre berarti : baik momok maupun spectrum), dan Politiques de l’amitie (1994) (Politik Persahabatan).

Sejak tahun 1974 Derrida ikut aktif dalam kegiatan-kegiatan himpunan dosen filsafat yang memperjuangkan tempat yang wajar untuk filsafat pada taraf sekolah menengah : Greph (Group de recherché sur l’enseignement philoshophique) (Kelompok penelitian tentang Pengajaran Filsafat). Kelompok ini didirikan akibat dari situasi lingkungan pada saat itu yang mempersoalkan filsafat pada sekolah menengah. Pada saat ini juga Derrida menulis sebuah artikel yang berjudul Qui a peur de la philoshophie? (1977) (Siapa Takut pada Filsafat?). dan sebuaha karangan-karangan baru yang dikumpulkan dalam sebuah buku Du droit a la phlosophie (1990) (Tentang Hak atas Filsafat).

Dari tulisan-tulisan yang di buat atau ditulis oleh Derrida, maka sudah bisa kita lihat bahwasanya Derrida menulis atas dasar kritikan-kritikan terhadap para filusuf-filusuf, ilmuan-ilmuan, dan sastrawan-satrawan. Akan tetapi komentarnya itu atau kritikannya itu dalam bentuk khusus, dengan cara inilah pemikiran Derrida selangkah demi selangkah berkembang. Dari hasil kritikan serta komentarnya itu Derrida menghasilkan sebuah pemikiran atau menyajikan teks-teks baru yang tidak dikatakan dalam teks-teks yang yang dia kritik. Prosedur yang dilakukan oleh Derrida ini disebut dengan deconstruction, “pembongkaran”.

b. Pemikiran Filosofis

Sebagaimana yang dilakukan oleh para filusuf sebelum Derrida khususnya Heiddeger dan Levinas yang mempersoalkan dan mengkritik seluruh tradisi filsafat barat, begitupula dengan Derrida yang mebicarakan dan mempersoalkan hal tersebut. Derrida juga terpengaruh dengan pemikiran Heidegger sebagaimana pengakuannya “segala sesuatu yang saya usahakan ini tidak mungkin tanpa lingkup keterbukaan yang diciptakan oleh pemikiran Heidegger”. Dan dikatakan juga bahwasanya pemikiran Derrida merupakan semacam radikalisasi dari filsafat Heiddeger, akan tetapi tidak dalam artian bahwa dia meneruskan pemikiran Heidegger begitu saja. Sebaliknya, ia mengembangkan pendiriaanya sendiri dengan mengktitik dan mempermasalahkan antara lain Heiddeger.

Salah satu pandangan Derrida yaitu tentang ilmu pengetahuan dan filsafat, bagi Derrida filsafat tidak dapat dipertentangkan dengan ilmu pengetahuan. Filsafat dan ilmu pengetahuan pada dasarnya merupakan hal sama, karena kedua-duanya berakar dalam rasionalitas yang sama. Yaitu bahwa rasionalitas itu tidak lain daripada pemikiran Barat yang lahir di Yunani dan berlangsung sampai hari ini.

Pemikiran Barat yang pada waktu itu berpandangan bahwa yang ADA itu dimengerti sebagai “kehadiran”, maka menurut Derrida pemikiran tentang ada sebagai “kehadiran” itu disebut juga kedalam “metafisika”. Dan pandangan ini selanjutnya berpengaruh terhadap pandangan tentang tanda. Dalam tradisi metafisis tanda menghadirkan sesuatu yang tidak hadir. Tanda mengganti apa yang tidak hadir. Derrida juga berpendapat bahwa kehadiran tidak merupakan sesuatu instansi independen yang mendahului tuturan dan tulisan kita, tetapi sebaliknya ditampilkan dalam tuturan dan tulisan kita, dalam tanda yang kita pakai.

Pandangan ini adalah pandangan yang berbalik dari apa yang disebutnya “Logosentrisme” : pemikiran tentang ada sebagai kehadiran. Dan pandangan ini juga yang menjadi analisis terhadap pandangan tentang tanda yang dikemukakan oleh Ferdinand de Saussure, perintis besar linguistik modern, yang memperlihatkan bahwa di situ pun masih ada sisa-sisa logosentrisme.

Kemudian Derrida berusaha memikirkan tanda sebagai trace(bekas), suatu kata yang sebelumnya sudah dipakai sebagai istilah teknis dalam filsafat, pada plotinus misalnya dan di zaman kita sekarang pada Heiddeger dan terutama Levinas. Bekas tidak mempunyai substansi atau bobot sendiri, tetapi hanya menunjuk. Bekas tidak dapat dimengerti tersendiri (terisolasi dari segala sesuatu yang lain), tetapi hanya sejauh menunjuk kepada hal-hal lain. Bekas mendahului objek. Bekas itu sebelumnya bukan efek, melainkan terutama penyebab, kata Derrida. Sehingga bisa dikatakan bahwa tanda secara definitive (dan tidak untuk sementara saja) mendahului kehadiran; tanda selalu sebelum objek.

Menurut Derrida jaringan tanda atau rajautan tanda bisa di sebut dengan “teks”, Derrida menggunakan kata teks dalam arti yang jauh lebih luas daripada arti yang biasa, sebab bagi dia segala sesuatu yang ada mempunyai status teks. Segala sesuatu yang ada merupakan teks. Segala sesuatu yang ada ditandai tekstualitas. Tidak ada hors-texte, kata Derrida, tidak ada sesuatu di luar teks. Dan jika fenomenologi dulu asyik berbicara dengan intersubyektifitas, maka Derrida sekarang berbicara tentang intertekstualitas, karena suatu teks tidak pernah terisolasi tetapi selalu berkaitan dengan teks-teks lain.

Derrida menerangkan tengtang ilmu “Gramatologi” ilmu tentang Gramma, huruf-huruf, inskripsi, tulisan. Gramma adalah “tanda dari tanda” atau tanda yang menunjuk kepada tanda lain. Maka dari itu dapat dikatakan juga bahwa gramatologi adalah ilmu tentang tekstualitas.

Selain itu pemikiran Derrida yang lainnya yaitu konsepnya tentang Differance, dimana kata ini tidak akan ditemukan dalam kamus bahasa Prancis, karena kata ini dibuat sendiri oleh Derrida. Para pemikir dan penerus pemikiran Derrida cukup kesulitan dalam memahami kata Differance, sebab kata tersebut tidak “ada”. Mengatakan bahwa Differance “ada” akan berarti menguraikannya dalam suasana “kehadiran”. Karena kata ini dimaksudkan untuk melampaui sesuatu yang metafisika atau melampaui pemikiran yang ditandai ke-hadiran.

Derrida memberi berbagai penjelasan tentang kata Differance ini, setidaknya ia menguraikan kata ini dengan empat arti yaitu, Pertama-tama, Differance menunjuk kepada apa yang menunda kehadiran. Differance adalah proses penundaan (sekaligus aktif dan pasif), yang tidak didahului oleh suatu kesatuan asli. Kedua, Differance adalah gerak yang mendiferensiasikan. Dalam arti Differance adalah akar bersama bagi semua oposisi antara konsep-konsep seperti misalnya inderawi-rasional, intuisi-representasi, alam-kultur. Ketiga, Differance adalah produksi semua perbedaan yang merupakan syarat untuk timbulnya setiap makna dan setiap struktur. Perbedaan-perbedaan ini merupakan sebuah hasil Differance. Jadi, arti ketiga ini dekat dengan pemikiran Saussure. Keempat dan terakhir, Differance dapat menunjukkan juga berlangsungnya perbedaan antara ada dan adaan, suatu gerakan yang belum selesai.

Perlu ditambah juga bahwasanya kata Differance tidak boleh dibayangakan sebagai “asal-usul”, sebagai identitas terakhir yang melebihi semua perbedaan faktual. Dan dapat kita katakana juga dan bisa kita lihat bahwa filsafat Derrida ini secara radikal bersifat berhingga. Dalam pemikiran Derrida tidak ada tempat untuk sesuatu pemikiran yang tidak terhingga.

Inilah uraian singkat yang penulis bisa sajikan, dan mungkin uraian ini tidak sampai pada tahapan sempurna karena penulis yakin dan sadar bahwasanya tulisan ini masih jauh dari kesempurnaan, apalagi ditambah dengan kekurang pahaman penulis tentang objek yang telah di uraikan diatas. Akan tetapi mudah-mudahan tulisan ini bisa menjadi awal celah bagi cahaya yang lebih besar dan bermanfaat bagi kita semua.

Bibiliografi

Bertens, Kees. Filsafat Barat Kontemporer Prancis.

Yogyakarta

: Kanisius

http://hanyaudin.blogspot.com/2006/01/berkenalan-dengan-post-strukturalisme.html Kamis, 13-09-2007, 15:31

http://id.wikipedia.org/wiki/Jacques_Derrida kamis, 13-09-2007, 16: 37.

http://hanyaudin.blogspot.com/2006/01/berkenalan-dengan-post-strukturalisme.html kamis, 13-09-2007, 15:31.

Ibid.

Ibid.

Ibid.

http://id.wikipedia.org/wiki/Jacques_Derrida Kamis, 13-09-2007, 16: 37

Kees Bertens, Filsafat Barat Kontemporer Prancis. hal. 326.

Ibid. hal. 328-329.

Ibid. hal. 330

Ibid hal. 331-332

Ibid. hal. 340

Sains dan Sastra Sebagai Bagian Dari Filsafat

Ketika kita berbicara tentang suatu ilmu, maka kita akan dihadapkan pada berbagai pembagian ilmu. Apapun bentuk dan macam ilmu tersebut pasti mempunyai sebuah sistematika dan cara dalam menyampaikan disiplin ilmu tertentu. Sejak Aristoteles (382-322 SM) berfikir tentang alam dengan rasionya, maka dia dianggap sebagai orang yang pertama kali menggunakan rasionya untuk memandang keadaan disekitarnya, dan kemudian dikenal dengan nama filsafat. Dari sinilah kemudian ilmu berkembang dan meluas sampai sekarang.


Dari perkembangan itulah maka ada sebuah pertanyaan apakah satu ilmu dengan ilmu yang lainnya mempunyai hubungan atau kesinambungan? Ataukah ilmu-ilmu tersebut berdiri sendiri dan tidak ada hubungan. Kalo kita sepakat bahwa ilmu itu berkembang dari satu ilmu kepada ilmu yang lain berarti kita bisa menyebut bahwa adanya kesinambungan atau keterkaitan antara satu ilmu dengan ilmu yang lainnya.

Pada makalah ini penulis akan mencoba mencari korelasi atau hubungan antara ilmu tersebut, penulis tidak akan memuat semua bidang ilmu pengetahuan, akan tetapi hanya sebatas sains dan sastra. Maka apakah sains dan sastra mempunyai hubungan atau bahkan sebagai bagian dari filsafat. Hubungan Sains dengan Filsafat Sebelum kita masuk kepada hubungan antara sains dan filsafat, maka akan disampaikan dulu pengertiannya satu sama lain. filsafat berasal dari kata philoshopia yang diambil dari bahasa Yunani yang berarti (philia = persahabatan, cinta dsb.) dan (sophia = "kebijaksanaan"). Sehingga arti harafiahnya adalah seorang “pencinta kebijaksanaan” atau “ilmu”1. sedangkan sains yang dimaksud adalah bidang pengetahuan yang secara tradisional tercakup dalam disiplin disiplin yang yang dikenal dikalangan para sarjana Muslim sebagai (1) ilmu-ilmu matematis (‘ulûm al-ta’âlîm, atau al-‘ulûm al-riyâdhiyah), seperti aritmatika, geometri, astronomi, dan musik serta (2) ilmu-ilmu kealaman al-‘ulûm al-thabî’iyyah), termasuk ilmu-ilmu fisis, biologis, dan ilmu-ilmu kognitif (psikologi).2 jika dilihat sekilas pada pengertian diatas, maka ada hubungan antara filsafat dalam artian seseorang yang mencintai ilmu dan sains sebagai ilmu itu sendiri. Seorang Muslim pertama yang menghubungkan sains dengan filsafat adalah Al-Kindî ( 185 – 260 H/801-873 M ), dia adalah orang yang pertama mengembangkan filsafat dan sains secara serius dan sistematik, adalah juga orang pertama yang mengdefinisikan posisi epistemik sains dalam skema pengetahuan filosofis yang menyeluruh. Dia juga membagi filsafat Aristotelian kepada dua begian yaitu bagian yang teoritis dan bagian yang praktis, dan kedudukan ilmu sebagai cabang filsafat teoritis.3 Dalam risalahnya Fi Al-Falsafah Al-Ûlâ, dia mulai menggambarkan falsafah sebagai bentuk kegiatan intelektual dan pengetahuan tertinggi manusia. Dia mendefinisikan filsafat sebagai “pengetahuan tentang sifat hakiki sesuatu sejauh itu dimungkinkan bagi manusia”. Di tempat lain, dia mendefinisikan filsafat sebagai “pengetahuan tentang hal-hal yang kekal dan universal, tentang eksistensi, esensi, dan sebab-sebabnya. Yang dimaksud dengan “ sifat hakiki sesuatu” (al-asyyâ’ bi-ַhaqâ’iqiha) adalah eksistensi, esensi dan sebab-sebabnya, atau pendeknya, kebenaran-kebenarannya.4 jadi bisa disebut bahwasanya menurut Al-Kindî filsafat adalah kebenaran tentang ilmu pengetahuan yang bersifat kebenaran yang dimana kebenaran tersebut ditujukan untuk manusia. Dalam madzhab paripatetik yang didirikan oleh Al-Kindî mempunyai sebuah alasan epistimologis dan ontologis untuk menerima ilmu-ilmu kealaman, matematika, dan semua cabang ilmu-ilmu itu sebagai bagian dari ilmu-ilmu filosofis, dan alasan untuk menjaga hubungan niscaya antara sains dan filsafat, atau, lebih khusus lagi, ketakterpisahan sains dan metafisika.5

Teks Hukum, Dunia dan Sejarah

Teks Hukum, Dunia dan Sejarah Ringkasan Pengantar : Kesinambungan Teoritis Sebagai sebuah konstruksi teoritis, teori hokum sunni sejak awal telah mengoperasikan dua level diskursus yang antara keduanya harus dibedakan secara jelas kalau kita ingin mendapatkan pemahaman yang cukup mengenai teori ini dan sejarahnya. Sunnisme sebagai sebuah identitas keagamaan dan sekaligus hukum ditetapkan dengan membangun prinsip-prinsip teoti hukum. Ajaran-ajaran teologis tertentu yang elementer, Ushul Fiqh Sunni didasarkan atas sejumlah asumsi dasar yang telah dicirikan sebagai teori hukum yang tetap. Yaitu menganggap empat komponen dasar hukum.


Empat sumber hukum itu hanya dianggap konstan (kekal) sejauh keempatnya didefinisikan secara luas sebagai dasar-dasar bagi sistem hukum. Garis yang membedakan antara yang kekal dan yang tidak kekal (atau level kedua yang akan kita sebut variabel-variabel) adalah sesuatu yang memisahkan sebuah ”sumber” sebagai sebuah postulat atau kumpulan postulat yang diterima secara luas dari cara-cara memahami, menafsirkan, atau menafsirkan kembali sumber tersebut. Variabel-Variabel Teori Hukum Dalam teori hukum, hal ini terwujud dalam sebuah penyelidikan terhadap variabel-variabel yang membentuk kolektivitas yang kita sebut Ushul Fiqh, baik secara diachronic (historis) maupun synchronic. Untuk memahami teori ini, adalah penting memahami tidak hanya yang konstan tetapi juga peran dari variabel-variabel yang memberikan warna khas kepada masing-masing teori, dan penjelasan keunikan individual dari masing-masing pembuat teori itu. Mereka mempunyai tipe-tipe yang berbeda dan mewujudkan diri mereka dalam cara-cara yang bermacam-macam. Kandungan dan Susunan Pokok Persoalan Satu gejala dari variabel-variabel ini adalah fakta tentang kontroversi mengenai materi pokok dari teori hukum sering kali seorang teoritisi menunjukan kesadaran yang dalam terhadap materi-materi yang cocok dan yang tidak cocok untuk dimasukkan dalam teori hukum. Ghazali, misalnya mengritik para teoritisi yang menurutnya telah berlebih-lebihan dalam membahas isu-isu yang berkaitan dengan teologi, hukum positif dan tata bahasa (grammar) Arab. Images_20 Syatibi (w. 790/ 1388 M) melanjutkan gugatan itu dengan mengritik dimasukkannya materi-materi yang tidak berhubungan dengan fungsi dan tujuan teori hukum, yaitu penemuan aturan-aturan hukum yang sesungguhnya (substantif). Logika Yunani, dialektika hukum, dan preposisi bahasa (linguistik) adalah tiga topik lain yang dimasukkan dalam beberapa karya, tetapi dikeluarkan dari karya-karya yang lain. Sementara topik-topik ini dikeluarkan dari teori-teori tertentu karena satu alasan, mereka memperoleh jalan untuk masuk dalam sejumlah besar teori-teori yang lain, berpengaruh atau tidak, untuk membiarkan mereka mengamankan satu tempat dalam sejarah Ushul Fiqh. Isu-isu yang tampaknya sudah diperkenalkan kepada sebuah teori tertentu secara khusus, dan yang tampak tidak dibahas lagi dalam teori-teori lain. Dua contoh dalam hal ini terdapat pada karya Ghazali dan Tufi (w. 716H/ 1316M). Dalam kitab al-Mustasyfa, Ghazali membahas pada sub bab tentang taqlid, gagasan-gagasan ta’limi tentang konsep ini yang dia kritik dan tolak dengan penuh semangat. Sebuah isu yang lebih singkat lagi munculnya ada pada karya Tufi, Syarah Mukhtasyar ar-Rawdhah, sebuah komeentar terhadap ringkasan Tufi sendiri atas karya Ibnu Qudamah (w. 620H/ 1223M) Rawdhah an-Nadzir.Tufi dalam karyanya menyediakan sejumlah halaman untuk masalah tarjih ini dimana ia menyetujui pemikiran Abdu Jabbar bahwa prinsip tarjih secara sah dapat dibawa untuk menyinggung madzhab-madzhab hukum. Manifestasi lain dari perbedaan-perbedaan dalam karya-karya teori hukum adalah pengaturan materi pokok. Dalam hal ini juga jarang didapati dua teoritis yang mengikuti pola yang sama. Hal itu harus dilihat untuk merefleksikan persepsi tertentu dari seorang teoretisi hukum mengenai saling keterkaitan antara semua bagian (materi pembahasan) itu hubungan antara masing-masingnya, dan hal ini pada gilirannya merefleksikan keunikan dan perbedaan kualitas pemikiran dari setiap ahli teori hukum tentang apa itu teori dan bagaimana ia dapat memenuhi tujuannya. Dalam beberapa lama, topik-topik sentral tertentu dari teori hukum dibahas secara sangat detail, seolah layak untuk diterbitkan secara terpisah sebagai karaya tersendiri. Teori-teori Pembenaran Variabel-variabel diskursus hukum juga direfleksikan dalam perkembangan teoritis yang terjadi sebagai hasil dari perubahan persepsi yang bersamaan dari hukum substantif. Hukum substantif yang yang tercatat kekurangan metodologi yang sistematik dan koheren, sebuah metodologi yang setelah masa pembentukan, menjadi tidak terkekang dalam menggunakan teks wahyu sebagai titik tolak dan sebagai kerangka referensi yang khusus dan utama. Warisan dari abad ke 2/8 adalah korpus hukum substantif yang didasarkan atas sebuah metodologi yang tidak selalu cocok dengan standar-standar yang ketat dari para teoretisi yang belakangan. Tetapi semua ini tidak lebih dari label-label. Apa yang telah menjadi isu adalah peraturan hukum positif yang datang pada abad pertama dan kedua Islam yang menjadi kumpulan hukum yang diakui dan dibentengi serta dibela oleh mereka yang sangat ahli diantara para teoretisi hukum. Jika hukum dasar yang awal tidak dimodifikasi kandungannya dalam skala apapun yang bisa dipertimbangkan, maka secara teorotis ia sudah dijustifikasi dalam satu atau lain cara. Images_21 Ketika Abu Hanifah mengambil jalan mentarjih hukum, dia tidak selalu merasa dirinya terikat pada semangat atau teks wahyu. Penyesuaian yang ada menjadikan metode tarjih hukum (juristic preference) diterima oleh para ahli teori hukum dari kalangan madzhab Maliki, Syafi’i dan Hanbali. Pembenaran untuk meninggalkan satu qiyas dengan menyetujui yang lain dibuat sangat cocok sehingga madzhab Hanbali pun mengadopsinya, sebagaimana diperlihatkan dalam tulisan Ibnu Taymiyyah. Madzhab Hanafi bersama madzhab Maliki memiliki sejarah yang sama. Kesimpulan yang diperoleh melalui nazhar dan ra’y tidak secara eksklusif menjadi wewenang para pengikut Hanafi. Imam Malik misalnya, memiliki bagian terbesar dalam praktik seperti itu. Tetapi sementara kasus-kasus nazhar dan ra’y itu dinyatakan oleh golongan Hanafi sebagai ”tarjih hukum”(juristic preference), golongan Maliki menganggapnya termasuk kepentingan umum (istislah, maslaha).adalah signifikan bahwa istilah maslaha dan istislah dalam konotasi teknis bahkan setengah teknis, belum ada pada dua abad, dan mungkin tiga abad pertama Hijriyah, ketika hukum substantif telah sepenuhnya berkembang. Pada pertengahan abad ke 5/11, gagasan masalih mursalah bukan hanya telah menjadi elemen pemikiran hukum yang dapat diidentifikasikan tetapi juga telah memasuki wilayah qiyas untuk menjadi unsur esensi di dalam doktrin kesesuaian (munasaba). Ghazali tampaknya termasuk teoretisi terkemuka yang mengelaborasi doktrin munasab secara detail, dan demikian juga maslaha mursala. Tetapi usahanya itu tidak sebanding dengan apa yang dilakukan oleh al-Shatibi yang menyusun seluruh teori, dengan struktur yang mengesankan dan mengagumkan, disekitar doktrin maslaha. Perkembangan yang terjadi pada wilayah maslaha dan istihsan berlangsung bersamaan dengan perkembangan besar yang lain yang tanpanya pertumbuhan teori hukum secara keseluruhan akan terhambat, yaitu perkembangan pokok dari ’illat (ratio legis) yang pada abad ke-5 pembentukannya telah membuat kagum Imam Syafi’i, Ibn Hanbal dan orang-orang semasanya. Sebagai tambahan pada kebutuhan-kebutuhan hukum dasar bagi bagi pengembangan lebih jauh atas teori ini, terdapat sekumpulan diskursus logika yang diimpor dari yunani yang bias didapatkan olehpara ahli teori hokum yang terlibat dalam beberapa lapangan kegiatan intelektual lainnya. Apa yang harus diadopsi harus cocok dengan kebutuhan-kebutuhan teori sebagaimana telah dikembangkan pada abad ke 5/11; tetapi diatas semuanya, ia harus selaras dengan atau dapat diselaraskan dengan asumsi-asumsi umum. Apakah pemikiran hokum Islam terpengaruh oleh logika Yunani atau tidak, yang pasti pemikiran ini telah memainkan peranan penting pada perkembangan teori hokum berikutnya. Pada abad ke 5/11, induksi (istiqra’) dalam bidang hokum mulai mendapatkan dasar, sebagaimana terlihat dari munculnya prinsip induksi tematik (qawa’id fiqhiyah) dari hadits-hadits Nabi (tawatur ma’nawi). Pada abad ke 5/11 pembentukannya, prinsip induksi tematik (qawa’id fiqhiya) dari hadits-hadits ahad hanya merupakan pendahuluan bagi apa yang muncul kemudian, membuka jalan bagi perkembangan yang lebih signifikan dalam teori hokum.pentingnya induksi ditandai dengan penempatannya dalam susunan indicator yang diklasifikasikan oleh Qarafi; induksi ditempatkan setelah Qur’an, Sunnah, Ijma’, Qiyas, Qaul Shahabi, Maslaha Umum, Prinsip terus berlangsungnya hokum (istishab / presumption of continuity), dan hukum adapt (customary law) yang terakhir ini diakui dalam hukum atas dasar prinsip dugaan. Sebuah argument yang didasarkan atas survey induktif dari dalil-dalil yang relevan dianggap memiliki otoritas yang sama dengan argument yang lain. Asimilasi Prinsip-Prinsip Logis dan Teologis Sekarang jelas bahwa teori hukum sebagai sekumpulan ide-ide dan prinsip-prinsip tidak terwujud dalam kevakuman tetapi lebih disebabkan oleh kontribusi yang relevan dalam kadar tertentu yang dibuat dalam bidang-bidang kegiatan intelektual yang lain. Dari bidang teologi (kalam), disumbangkan unsure-unsur fundamental tertentu yang yang menjadi bagian integral dari sejumlah, kalau bukan kebanyakan teori hukum. Bagaimanapun, doktrin-doktrin teologi banyak yang ditolak, sebanyak yang diadopsi. Fakta bahwa para ahli teori hukum menganggap berguna untuk mencurahkan energi mereka guna menolak doktrin-doktrin teologi tertentu menunjukan relevansi doktrin-doktrin ini dengan isu-isu dalam teori hukum. Pada isu-isu tertentu, teori hukum secara tidak langsung terpengaruh oleh doktrin rasionalis. Sebuah hukum yang keras mungkin menjadi subyek dari perselisihan penting, bukan atas dasar pertimbangan hukum apapun tetapi lebih dikarenakan penerimaan atas satu pemikiran yang secara logika berimplikasi pada pengakuan validitas dari doktrin teologi yang ditolak. Pada tingkat permulaan perkembangannya, teori hukum tampak memiliki hutang lain kepada kalam, yaitu dialektika (jadal dan munazhara) yang menduduki tempat utama pada keseluruhan teori ini. Peminjaman dilakukan secara selektif yang dikesankan oleh perbedaan antara dialektika para filusuf dengan dilektika yang baik (al-jadal al-hasan) yang sejalan dengan semangat hukum dan teori hukum. Pada pertengahan abad 4/10, seluruh risalah mengenai dialektika hukum tampak sudah eksis, dan nama al-Qaffal al-Shashi dihubungkan dengan komposisi awal dari apa yang disebut dialektika yang baik. Dialektika membentuk tahap akhir dari proses pemikiran hukum dimana dua pendapat yang saling bertentangan atas sebuah kasusu hukum dihadapkan satu sama lain dalam satu materi dari sebuah sesi argumentasi yang teratur dengan maksud untuk mengokohkan kebenaran dari salah satunya. Fungsi untuk mempersempit ketidakcocokan ini dengan mengokohkan tempat dimana ada kebenaran, menjadikan seni berdebat-yang dikenal juga sebagai adab al-bahts wa al-munazharah-penting bagi teori hukum, walaupun seorang bias mendapatkan sejumlah risalah yang tidak menyediakan tempat untuk menulis seni ini. Sebuah ciri teori hukum yang juga menonjol, yang kita cirikan sebagai salah satu variabel diskursus hukum, adalah logika formal Yunani. Faktanya adalah logika harus menunggu lebih dari dua abad setelah diperkenalkan kepada dataran intelektual Islam sebelum diakomodasikan dalam teori hukum. Sumbangan Ghazali pada formalisasi dan anlisa logis dari srgumen-ergumen hukum parallel dengan sumbangannya kepada epistemology,dan pada dua bidang penyelidikan filosofi yang slaing berkaitan ini, warisan Ghazali tetap bertahan. Ditegaskan bahwa untuk menghindarkan kemunduran yang tak terbatas, akal harus dilihat sebagai sesuatu yang berkembang dari beberapa a priori atau bahkan pengetahuan aksiomatic yang belum ada (preexisent) menuju konsep-konsep baru (tasawwurat) dengan menggunakan definisi-definisi (hudud; tunggal hadd). Dalam hal ini para teoretisi berbeda pendapat dengan para filosof, mereka berpendapat bahwa apa yang dikatakan silogisme (qiyas) oleh para filosof, tidak lebih dari sebuah pengambilan kesimpulan dari premis-premis yang tertentu, sementara qiyasnya para fuqaha mencakup premis-premis yang mungkin. Perbedaannya terletak pada kualitas premis-premis, karena bentuk dan struktur analogi tidak berbeda dari bentuk dan struktur silogisme dalam pengertian bahwa kedua tipe premis-premis itu menuntut muqaddimah dari suatu partikularitas dibawah sebuah generalitas. Puncak perdebatan dalam menyamakan silogisme filosofis dengan qiyas hukum mungkin mendapatkan ekspresi yang paling baik dalam tulisan-tulisan seorang faqih dan teolog mazhab Hanbali Taqi al-Din Ibn Taymiyya yang menekankan bahwa silogisme, berdasarkan bentuknya saja, tidak bias menghasilkan kesimpulan yang memberi kepastian. Term tengah dalam silogisme adalah ‘illat dalam analogi, dan premis mayor yang mengandung term mayor dan tengah, sebanding dengan kecocokan (talazum) atau hubungan penting antara ‘illat di satu pihak dengan kasus asal dan baru di pihak lain. Apapun yang diberlakukan untuk membuktikan kebenaran dan kepastian dari premis universal dalam sebuah silogisme juga diperlukan untuk membuktikan bahwa ‘illat tentu selalu cocok dengan peraturan. Dengan demikian, membuat karakter universal dari premis mayor sama dengan memverifikasi bahwa bila ada ‘illat ada hokum. Lebih jauh lagi, metode untuk membuat ‘illat, lebih-lebih metode yang digunakan sesuai dengan prinsip-prinsip ittirad, menjamin bahwa apabila suatu pemikiran diterima sebagai sesuatu yang valid dalam satu kasus, ia pasti valid dalam kasus-kaua yang lain. Bagaimanapun, kita harus segera tambahkan bahwa banyak teori hukum tidak mengikuti pandangan Ibn Taymiyya berkaitan dengan superioritas analogi atas silogisme. Sementara Ibnu Taymiyya menentang seluruh logika yunani, mereka tidak. Apa yang mereka anggap dapat diterima adalah pandangan, didukung oleh Ibnu Taymiyya dan lain-lain, bahwa analogi dapat direduksi kepada bentuk silogisme. Mengikuti langkah Ghazali, Ibnu Qadamah mengikuti risalah teoti hukumnya dengan pengenalan logika dimana dia tidak hanya membahas tasawwur, tasdiq, dan hadd, tetapi juga melukiskan tipe-tipe silogisme, syarat-syarat validitasnya, dan sifat memungkinkannya dipakai untuk mendukung hokum. Argumentasi dalam seluruh pengetahuan menurutnya harus sesuai dengan aturan-aturan silogisme, dan agar analogi (qiyas) menjadi valid harus bias direduksi kepada figur silogisme yang pertama (kategoris). Sebuah pendekatan berbeda yang menyatukan logika dengan hokum tampak pada sesame penganut madzhab syafi’I yang lebih muda dari Ibnu Qadamah, Syaf al-Din al-Amidi yang sebgaimana al-Ghazali, sangat terlibat dalam mempelajari logika dan filsafat yunani. Bagaimanapun al-Amidi memulai karyanya dengan beberapa catatan bahwa ilmu pengetahuan apapun dating melalui tasawwur dan tasdiq, dan bahwa salah satu dasar dari indicator hokum, yakni dalil, dapat digunakan untuk mendukung kesimpulan hokum. Disini, dia menklasifikasikan indicator ke dalam tiga tipe ; rasional, revelational (berdasar wahyu), dan kombinasi antara keduanya. Menjelang akhir karyanya, Amidi menyediakan satu bab untuk membahas indikator independent dari qiyas, satu bab yang dia beri judul istidlal, yaitu argument-argumen yang didasarkan atas dalil-dalil. Seorang teoretisi madzhab Maliki, Ibn Hajib (w. 646/1248) menunjukkan komitmen yang sama terhadap penyatuan logika dengan teori hokum seperti yang telah dilakukan oleh pendahulunya, Ghazali Ibn Qadamah dan Amid. Dalam tradisi para teoretisi yang meendasarkan teori hokum kepada hokum, bahasa, dan teologi (kalam), Images_23 Ibn Hajib menyediakan beberapa tempat dalam pendahuluan karyanya untuk ketiga hal itu. Tetapi berapapun jumlah mereka, dan sejauh apapun mereka ingin menandakan teori hokum pada struktur logika formal, satu hal jelas ialah bahwa ketidak-konsikuenan pengaruh logika formal di dalam kontribusi definitive dan silogistik atas persyaratan-persyaratan actual dan prosedur substantive dari pemikiran hokum. Tugas seorang teoretisi diakui tidak bias direduksi hanya untuk menjawab persoalan-persoalan yang muncul dari kehidupan sehari-hari. Seorang teoretisi adalah ahli hokum, faqih, dan juga intelektual. Semua ini memberi mereka kerangka berpikir konseptual yang menarik, logis, epistemologis dan tertinggi, yang tampak mengungguli teori pengetahuan kalam tradisional. Silsilah formula (rumus) yunani tampak lebih benar-benar disandarkan atas epistemologis yang dihargai daripada atas doktrin yang diterima secara tradisional bahkan baru-baru ini diterima. Logika adalah sarana untuk mendapatkan pengetahuan filosofi dan semua bentuk pengetahuan, termasuk teori hokum. Dalam kerangka berpikir intelektual eksternal inilah, teori hokum harus ditempatkan. Dan kerangaka berpikir inilah yang membentuk konstribusi logika bagi teori hokum. Pertumbuhan Kumulatif dan Perkembangan Akhir Sebagai tambahan terhadap variabel-variebel yang terbentuk dalam teori hukum melalui asimilasi logika, elemen-elemen teologis dan lainnya, sejumlah perkembangan internal dan substantif memberikan sumbangan variabel-variabel tmbahan. Kami mencirikan variabel-variabel ini sebagai internal karena berasal dari dari komponen-komponen teori hukum yang membentuk materi pokonya, berbeda (berlawanana) dengan logika dan teologi Yunani yang ‘asing’. Anggaplah misalnya, kontroversi sekitar keberadaan mujtahid, sebuah persoalan yang tidak muncul dalam bentuk apapun sebelum abad ke 6/12. menjelang akhir abad itu atau mungkin pada permulaan abad 7/13, kontroversi itu menjadi bagian dari diskursus formal dan teoretisi. Apa yang relevan bagi kita dalam hal ini adalah suasana dimana masalah ini berkembang dari perdebatan ilmiah menjadi pembahasan formal dalam seluruh teori yang muncul belakangan. Patut dicatat bahwa fokus perdebatan adalah “gate of judgship” (pintu kehakiman), bukan pintu ijtihad. Dalam catatan Amid, seperti juga dalam seluruh pembahasan terakhir dalam masalah ini. Pengutipan dalil tekstual menjadi normatif. Menurut Amidi, orang-orang Hanbali dan beberapa pengikut Syafi’i mengemukakan dua argumen untuk mendukung posis mereka, satu berupa daliol Syar’i dan yang lain berupa dalil ‘aqli. Poin yang ditekankan disini adalah bahwa teori hukum tetap berkembang dengan memperkenalkan isu-isu baru yang menjadi begian dari kebutuhan teori hukum itu. Teoti harus merespon realitas sistem hukum duniawi dan praktek hukum. Mungkin tidak ada ilustrasi yang lebih baik mengenai respon teori hukum terhadap perubahan realitas dunia daripada pembahasan mengenai hubungan antara para mujtahid dengan para mufti. Sampai pertengahan abad ke 5/11, semua teoretisi yang karya mereka dapat kita temukan menegaskan bahwa agar seorang mufti memenuhi syarat untuk mengemukakan fatwa, dia harus mencapai tingkatan mujtahid. Sekitar satu abad kemudian. Doktrin ini menimbulkan perubahan fundamental yang sekali lagi direfleksikan pertama kali pada karya Amidi, sekalipun jejak-jejak awal perubahan itu jauh dari doktrin konvensional sudah jelas dalam karya non-teoretis dari Abu al-Walid Ibn Rusyd (w. 520/1126). Tetapi seorang tokoh sezaman Amidi yang lebih muda, Ibn al-Hajjib, benar-benar mengakui realitas praktik hukum. Dia menegaskan bahwa seorang faqih yang mengetahui doktrin dari suatu mazhab dan yang mampu berpikir secara tepat, tetapi dia sendiri bukan seorang mujtahid- berhak mengeluarkan fatwa. Awal abad ke-7/13, pemikiran bahwa seorang muqallid dapat berfungsi sebagai mufti tampaknya telah diterima secara umum, walaupun pada penjelasan-penjelasan belakangan tampaknya kontroversi itu menjadi lebih kompleks. Dalam karya-karya ini, tercatat empat pemikiran berbeda berkaitan dengan persoalan ini. Menurut yang pertama, seorang muqallid dibolehkan mengemukakan pemikiran hukum dengan syarat dia telah menguasai ajaran madzhabnya dan mampu berpikir secara benar. Yang kedua membolehkannya bertindak sebagai mufti hanya jika tidak ditemukan seorang mujtahid dikota dimana seorang penanya (mustafti) tinggal atau disekitar kota itu. Yang ketiga mengijinkan seorang muqallid untuk berfatwa, apa pun kualifikasi profesionalnya.pemikiran kempat berasal dari para teoretisi terdahulu yang menekankan bahwa tidak seorang muqallid pun berwenang memberi fatwa. Begitulah, selama masa kurang dari tiga abad, diskursus tentang persyaratan-persyaratan mufti telah berubah secara dramatis. Pada pertengahan abad ke-5/11, persyaratan itu satu dimensi yakni seorang mufti haruslah seorang mutahid. Realitas dimana para muqallid, bukan mujtahid, merupakan kendaraan bagi sistem hukum tidak dapat dibantah, dan teori hukum harus merespon perubahan-perubahan ini. Evolusi dari diskursus ini juga merefleksikan sebuah gambaran penting lainnya dalam sejarah teori hukum yaitu peran penafsiran pada perkembangan teori ini selanjutnya, sebuah peran yang sangat diabaikan oleh kesarjanaan (penelitian) modern, dengan akibat buruknya penafsiran-pebnafsiran itu benar-benar telah dibuang sama sama sekali, dianggap tidak orisinal dan tidak layak untuk kita perhatikan. Kajian mendetail dari tulisan-tulisan ini memperjelas bahwa para penafsir sering berusaha menyimpang dari atau memodifikasi doktrin-doktrin para ahli terdahulu yang karya-karyanya mereka tafsirkan. Kepercayaan atas karya-karya belakangan yang telah membawa beberapa perubahan adalah sebuah metode lain yang dengannya para penafsir membawa proses inilebih jauh. Kepercayaan para penafsir terhadap doktrin-doktrin belakangan merupakan tanda perubahan yang telah ditimbulkan. Penafsiran (syarh/penjelasan) bisa dicirikan sebagai komponen utama dari variabel-variabel teori hukum, dan memiliki potensi untuk riset masa depan. Tetapi kita harus hati-hati untuk membedakan antara beberapa tipe syarh atas karya-karya teori hukum. Tipe pertama memberi catatn konotasi bahasa dari istilah-istilah dan konsep-konsep teknis yang digunakan oleh pengarang asli atau, kalau merupakan syarh atau syarh, yang digunakan oleh pensyarah pertama. Peranan tipe syarh ini adalah untuk menjadikan teks yang sulit dapat diakses baik oleh mahasiswa maupun sarjana. Tipe syarh yang kedua menjelaskan secara rinci konsep-konsep yang belum dikembangkan dan mengembangka persoalan-persoalan yang muncul dalam teks asli. Seringkali terjadi bahwa syarh ini diperuntukkan bagi karya-karya kecil atau bagi ringkasan dari karya yang lebih besar yang ditulis oleh pembuat syarh sendiri. Apa yang signifikan dalam proses meringkas dan mensyarh ini adalah hasil akhir yang diwujudkan dalam syarh terakhir. Hasil dari proses ini adalah bahwa teks aslinya yang tidak diringkas hanya memiliki sedikit persamaan dengan syarh akhir. Tujuan yang dinyatakan oleh tipe syarh ketiga dan keempat secara berturut-turut adalah untuk mempertahankan atau mengritik sebuah doktrin tertentu. Beberapa syarh khusunya ditulis – sebagaimana diakui secara terbuka oleh para pengarangnya dalam beberapa kesempatan- dengan pemikiran untuk menangkis kritik yang diarahkan pada teori tertentu atau untuk menolak sebuah doktrin yang tidak mereka setujui. Akhirnya, tipe kelima mempunyai perhatian utama yaitu sintesa teori-teori yang diuraikan oleh para penulis dari berbagai mazhab hukum yang berlainan, atau terkadang sintesa doktrin-doktrin yang berbeda dari sejumlah teoretisi yang berasal dari satu mazhab. Kebanyakan syarh ini menunjukkan = ukuran keaslian dan kretifitas yang ditunjukan oleh para pengarang yang karya mereka dijelaskan oleh syarh ini. Singkatnya, ringkasan mereka dan khususnya syarh mereka menciptakan medium dan sarana pertumbuhan doktrin dan perubahan teori hukum. Tetapi perubahan dan pertumbuhan yang direfleksikan dalam syarh dan yang benar-benar merupakan sumbangannya, timbul secara bertahap dan tanpa selalu tumbuh di luar diskursus teori hukum tradisional yang diterima secara luas. Sebenarnya, perubahan seperti itu sesuai wataknya memerlukan risalah khusus yang perhatiannya hanya untuk memunculkan teori-teori yang berusaha memperkenalkan perubahan-perubahan ini. Teori yang pertama dielaborasi oleh Qarafi dari mazhab Maliki, dan teori yang kedua oleh Tufi dari mazhab Hanbali. Kedua teori itu unik, dan mungkin karena watak revolusionernya hanya memiliki sedikit pengaruh atas konstruksi dari para teoretisi yang lain. dapat diperkirakan bahwa kegagalan dua teori ini untuk mendapatkan landasan dasar dalam konteks abad pertengahan berkaitan dengan perubahan-perubahan dramatis pada supra struktur dan infrastruktur dimana inflementasi kedua teori itu akan diperlukan. Walaupun kedua konstruksi teoretis ini menampilkan bagian-bagian dari ide-ide yang lebih luas, keduanya cukup mengandung prinsip-prinsip fundamental dan aturan-aturan umum untuk menjadi pedoman sebagai garis bimbingan bagi sebuah teori hukum yang komferehensif. Pengetahuan hadits-hadits hukum menggambarkan perbedaan-perbedaan diantara tipe-tipe hadits dalam dua tingkatan. Pertama adalah model dimana sebuah hadits muncul. Kedua adalah epistemologi ; hadts-hadits dibagi-bagi berdasarkan tingkat kemungkinan dan kepastianya, sesuai dengan keadaaan bagaimana hadits itu diriwayatkan. Dengan pemikiran seperti ini, sebuah hadits dapat digunakan untuk kepentingan hukum seperti teks yang lainnya; status epistemologisnya dan kejelasan teksnya (atau kesamarannya) adalah dua pertimbangan penafsiran yang pokok. Bagaimanapun, Qarafi memperkenalkan sebuah tipologi lain mengenai hadits nabi, satu diantaranya memiliki implikasi-implikasi yang jauh. Menurutnya, Nabi berfungsi dalam empat kapasitas : sebagai seorang Nabi, sebagai mufti, sebagai hakim, dan sebagai kepala negara. Setelah wafatnya, para mufti menggantikan posisinya sebagai mufti, para hakim menggantikannya sebagai hakim, dan para khalifah mengantikannya sebagai kepala negara. Jadi, usaha untuk menerapkan konsep dasar mengenai hadits-hadits Nabi ini dalam hukum substansif yang ada telah membawa perubahan besar dalam hukum ini. Hadits yang sebelumnya dianggap mengikat mungkin menjadi kurang mengikat dipandang dari dasar dikeluarkannya hadits tersebut. sebaliknya hadits yang biasanya dipahami sebagai transaksi pribadi mungkin kemudian dianggap sebagai keputusan pengadialan atau sebagai kebijakan negara. Sama pentingnya adalah implikasi pendekatan ini terhadap teori hukum yang berorientasi tekstual. Qarafi memperkenalkan metode nontekstual dan kontekstual dalam menafsirkan Sunnah, sebuah metode yang sangat berlawanan dengan sikap yang lazim dari para tepretisi dalam menafsirkan sumber hukum ini (hadits Nabi). Dalam sejarah teori hukum, konsep Qarafi ini unik, inovatif dan berlaku singkat. Teori maslaha Tufi berlaku sedikit lebih lama. Inti dari teori Tufi adalah supremasi kemaslahatan dan kepentingan umum diantara sumber-sumber hukum. Maslaha didefinisikan sebagai alat untuk mengetahui niat dari Syar’I (Pembuat hukum, Allah) baik melalui ibadah religius dan ritual atau melalui transaksi dunia. Dengankata lain, bagaimana mungkin teori Maslaha dianggap lebih unggul daripada al-Qur’an, Sunnah, dan Ijma’, jika ia hanya didukung oleh hadits ahad yang zhanni itu? Images_26 Tufi memberikan dua jawaban yang saling berkaitan. Pertama, hadits tersebut jika diklasifikasikan memang termasuk hadits ahad, dan hanya meberikan kemungkinan; tetapi hadits itu telah didukung oleh sebuah dalil tekstual lainnya yang menjadikannya kuat (qawiya bil-syawahid). Kedua, semua petunjuk dalam al-Qur’an, Sunnah, dan Ijma’ memperlihatkan kebenaran dan validitas prinsip yang dikandung dalam hadits tersebut. Karena syari’ah telah diberikan kepada keum Muslimin tujuan untuk menjaga kepentingan mereka, maka tidak boleh ada kontradiksi yang sebenarya antara maslaha di satu pihak denga al-Qur’an, Sunnah, dan Ijma’ di pihak lain. Bagaimanapun jika terlihat ada kontradiksi, maka ketentuan maslaha harus dibuat sebagai pengganti sumber-sumber hukum yang lain melalui teori pengecualian (takhsis), bukan dengan mengesampingkan semua sumber hukum itu. Betapapun, tetap jelas bahwa perbedaan antara konsep maslaha disatu puhak dengan semangat dan bahasa hukum sebagaimana dimuat salam al-Qur’an, Sunnah, dan Ijma’ di pihak lain adalah sangat nyata untuk dilewati dengan solusi yang tidak jelas itu. Lebih jauh, Tufi mengemukakan sedikitnya tiga argumen untuk mendukung gagasan bahwa maslaha mengesampingkan Ijma’, juga dua sumber hukum utama lainnya yaitu al-Qur’an dan Sunnah. Argumen pertama, dia tegaskan bahwa para pengkritik ataupun pendukung ijma’ sepakat mengenai posisi central maslaha. Dengan kata lain, maslaha adalah fokus dari kesepakatan bulat, sedangkan ijma’ dan dan kewenangannya tidak disepakati. Kedua, dalil tekstual dalam al-Qur’an, Sunnah dan ijma’ berbeda-beda dan terkadang bertolak belakang, mengakibatkan ketidaksepakatan diantara para fuqaha. Sedangkan maslaha tidak diperselisihkan dan keduanya kondusif untuk menyatukan kaum musolimin, kesatuan yang sering diperintahkan oleh tuhan dalam sejumlah ayat. Ketiga, sejarah telah menunjukkan bahwa sejumlah besar tokoh-tokoh berpengaruh dalam Islam sejak masa shahabat dab seterusnya, mengabaikan dalil tekstual demi keputusan-keputusan dan pandangan-pandangan yang didasarkan atas maslahah. Tufi menegaskan bahwa pada prinsipnya teorinya berlaku sesuai dengan doktrin yang diterima secara luas, yaitu tarjih, dimana sebuah dalil dipilih dari yang lainnya karena ia lebih tinggi dari yang lain. Memang ini adalah salah satu doktrin yang dicapai melalui ijma’. Benar bahwa mengabaikan teks wahyu tanpa alasan tidak diperbolehkan, tetapi mengabaikannya demi dalil tekstual lain yang lebih kuat tidak dilarang. Dan inilah yang dimaksud penerapan maslaha. Dasar dari teori tentang kemaslahatan umum ini terletak pada berlakunya hadits ahad, tetapi satu hadits ahad yang diperkuat oleh beberapa teks dan dasar-dasar yang kurang lebih berarti bahwa tujuan utama syari’ah adalah mencegah kejahatan dan menganjurkan kemaslahatan umum masyarakat. Teori Hukum dan Hukum Substantif Korpus hukum substantif atau hukum positif yang sebenarnya juga termasuk hukum prosedural, terartikulasi dalam pedoman-pedoman standar dan risalah-risalah panjang yang disebut kitab al-furu. Istilah furu’ yang secara bahasa berarti cabang-cabang, secara mengesankan menggambarkan hubungan antara teori hukum dengan hukum substantif. Karya-karya mengenai hukum substantif dimaksudkan untuk memberikan servis penting kepada seorang faqih, baik ia sebagai hakim atau mufti. Sebenarnya, pengetahuan mengenai fatwa sering disejajarkan dengan ilmu hukum substantif karena pemikiran hukum para mufti membentuk sumber utama dimana hukum substantif dan prosedural pertama kali dibangun dan kemudian dielaborasi. Sekalipun peran keputusan-keputusan pengadilan dalam evolusi batang tubuh hukum substantif tidak diremehkan – khusunya sealam masa pembentukan – muftilah yang tampak telah menyediakan sistem hukum secara bertahap, sedikit demi sedikit, dengan kitab hukum yang komprehensif. Jadi, tampak setelah periode pembentukan, batang tubuh hukum substantif dan prosedural pada pada pokoknya diambil dari sumbangan para mufti dan keputusan-keputusan hakim baik yang merupakan sangsi hukum atau yang disediakan sebagai alternatif oleh mufti. Benar bahwa tidak serupa dengan keputusan hakim, pandangan hukum seorang mufti tidak mengiakt, tetapi pandangannya, karena telah diemanasi dari otoritas yang sangat memenuhi syarat, menajdi bagian dari dan memang dianggap sebagai hukum. Hal ini merupakan persepsi umum dalam bidang hukum bahwa keputusan hukum adalah partikular (juz’i) dan dapat diperdebatkan, sedangkan fatwa seorang mufti bersifat unversal (kulli) dan dapat diterapkan kepada semua kasus hukum serupa yang akan muncul kemudian.sebagai peraturan, pendapat seorang mufti didasarkan atas fakta-fakta yang disodorkan kepadanya oleh penanya (sa’il). Jika benar demikian, seorang mufti harus mendapatkan solusi-solusi baru untuk kasus-kasus yang belum terselesaikan dalam madzhabnya, dan untuk kasus yang sudah terselesaikan, dia harus menyampaikan doktrin yang sudah dibangun atau jika lebih dari satu pendapat yang sudah diformulasikan, dia harus mengutamakan satu pendapat atas yang lain. Adalah fungsi teori hukum untuk menyediakan bagi seorang mufti sarana-sarana untuk melaksanakan tugasnya, terutama berkenaan dengan ijtihad dan tarjih. Kedua hal itu menciptakan kebutuhan dibalik teori hukum. Banyak energi para teoretisi dikeluarkan untuk mengelaborasi metode-metode dan formulasi prinsip-prinsip yang akan diberikan kepada mufti dalam wilayah ijtihad dan tarjih. Tetapi sebenarnya teori hukum lebih dari sebuah metodologi pemikiran dan penafsiran hukum, kearena beberapa doktrinnya berfungsi ganda. Disatu pihak doktrin itu memenuhi tujuan langsung yang dikehendaki, dipihak lain ia berperan secara tidak langsung dalam praktik pengadilan. Apa yang digunakan oleh para teoretisi dalam menjelaskan bahasa al-Qur’an dan Sunnah, digunkan juga untuk mendefinisikan bahasa instrumen hukum. Prinsip-prinsip teori hukum yang lain memainkan peran fundamental dalam mengembangkan dan membentuk prakitik hukum. Pemikiran bahwa ijtihad seluruhnya terbatas pada wilayah kemungkinan adalah satu pemikiran bahwa teori hukum dipelihara dan dikembangkan secara hati-hati. Sebenarnya pemikiran ini (ijtihad) adalah bagian penting dalam teori hukum. Tetapi bukan tugas teori ini untuk merinci pemikiran ini dalam lapangan praktik hukum karena hal itu bukan wewenangnya. Dan karena sebuah ijtihad sama nilai kemungkinannya dengan ijtihad yang lain, tidak ada kesimpulan yang dicapai berdasarkan ijtihad dapat menghapus hasil ijtihad yang lain (hal ini diungkapakan dalam kaidah al-ijtihad la yunqad bil ijtihad). Dengan membolehkan tinjauan atau pertimbangan pengadilan berarti membolehkan satu keputusan hukum untuk mencabut keputusan lain yang berasal dari situasi epistemologys yang sama – sebuah proposisi yang secara umum dan kategoris ditolak dalam fikh Sunni dan Syi’ah. Melembagakan tinjauan pengadilan sebagai bagian integral dari praktik pengadilan normative, dalam persepsi para Fuqaha, akan menyebabkan situasi dimana konsistensi dan stabilitas keputusan hukum menjadi rusak. Semua ini sangat sesuai dengan prinsip-prinsip epistemologis yang terdapat dalam bab-bab yang membahas ijtihad dalamkarya-karya teori hukum. Sesuai dengan itu pula, doktrin yang menyatakan tinjauan pengadilan dan penghapusan keputusan hukum yang ada sebagai sesuatu yang valid jika dapat dibuktikan bahwa keputusan itu melanggar nash dan atau ijma’. Sejauh ini kita telah membahas satu sisi dari fungsi ganda teori hukum yaitu pengaruh yang dimilikinya dalam menentukan, mengarahkan dan membentuk doktrin dan praktik pengadilan. Fungsi yang lainnya adalah bahwa apa yang menjadi tujuan dibuatnya teori hukum adalah sampainya pada apa yang dipahami mufti sebagai hukum sebagaimana ada dalam pikiran Tuhan. Dengan dimasukkannya fatwa kedalam peraturan-peraturan hukum substantif standar, lingkaran proses hukum ditutup. Sebuah kasus baru menimbulkan peraturan baru didasarkan atas dalil tekstual, yang merupakan rangkaian prinsip-prinsip hermenetik dan beberapa metode pemikiran. Peraturan itu diterapkan ke dalam kasus yang terjadi dalam situasi yang sangat khusus. Setelah dinilai valid, kasus itu sejalan dengan peraturan tersebut, kemudian di abstraksikan dan dimasukkan ke dalam korpus (kumpulan) hukum substantif yang menjadi referensi (atau perpustakaan) para mufti, karena sudah diakui validitasnya. Kasus baru apapun yang muncul setelah itu pertama kali harus dibandingkan dengan kasus-kasus yang terdapat dalam korpus itu. Jika tidak ada kasus serupa yang mendahuluinya, maka harus dilakukan ijtihad. Tetapi jika sebuah kasus dalam korpus hukum itu terbukti identik atau serupa dengan kasus baru itu, maka mufti harus menerapkan peraturan hukum yang sudah ada itu untuk kasus yang baru. Disinilah konsistensi hukum menjadi dalil penting ; sebuah doktrin hukum yang sudah mapan tidak boleh diabaikan kecuali ada alasan yang tepat untuk itu. Inilah syarat yang ditekankan oleh para teoretisi hukum dan para ahli hukum substantive (furu’).

Muhammad Ibnu Sirin

Muhammad Ibnu Sirin

Ò Imam Ibnu Sirin al-Bashri dilahirkan di kota Bashrah, Iraq, pada 33 H atau (653 M).

Ò Ibnu Sirin hidup di abad pertama kekhalifahan Islam dan belajar fiqih serta hadits dari tangan para pengikut pertama sahabat-sahabat Rasulullah saw.

Ò Karya Ibnu Sirin yang paling termasyhur adalah Muntakhab al-Kalam fi Tafsir al-Ahlam (Kunci untuk Mengungkapkan Tafsir Mimpi), yang dipandang oleh para penafsir mimpi di dunia Islam sebagai sumber pengetahuan utama yang telah memperkaya jiwa para pembaca serta penafsir mimpi selama seribu tahun silam.


Ò Imam Ibu Sirin memandang mimpi dan arti pentingnya dari sudut pandang Islam, kebenaran yang menjadi landasannya dan yang disingkapkannya bersifat universal.

Ò Di antara tokoh yang hidup sezaman dengannya adalah Imam Anas Ibnu Malik, Imam Hasan al-Bashri, Ibnu 'Awn, al-Fudhayl Ibnu 'Iyadh, dan banyak tokoh lainnya.

Ò Para ulama dan ahli dalam bidang tafsir mimpi, orang-orang di Timur sudah sangat mengenal nama Imam Muhammad Ibnu Sirin yang sangat dihormati karena ketinggian ilmu dan kesalihannya.

Diceritakan bahwasanya Imam Hasan al-Bashri pernah bermimpi dan merasa gundah ketika terjaga. Ia kemudian ingat bahwa Imam Ibnu Sirin adalah seorang ahli tafsir mimpi. Karena sesuatu hal, ia mengutus seseorang kepada Imam Ibnu Sirin seakan-akan orang itu sendiri yang telah bermimpi. Images_13 Setelah utusan itu menceritakan mimpinya, Imam Ibnu Sirin berkata, Suruhlah orang yang bermimpi ini datang kepadaku menceritakan mimpinya‌. Didorong oleh rasa ingintahu-nya, pergilah Imam Hasan al-Bashri menemui Imam Ibnu Sirin dan berkata, Aku melihat diriku berada di sebuah rumah kosong dalam keadaan tidak berpakaian dan di tanganku ada sebatang tongkat yang lurus. Imam Ibnu Sirin menjawab, Rumah kosong melambangkan dunia yang semu, engkau tidak berpakaian karena engkau adalah seorang yang tidak mencintai dunia, adapun engkau memegang tongkat yang lurus maknanya adalah engkau menegakkan yang ma’ruf dan mencegah yang munkar dengan ilmu yang engkau miliki. Imam Hasan al-Bashri bertanya lagi, Lalu bagaimana engkau mengetahui bahwa bukan utusan itu yang bermimpi?. Imam Ibnu Sirin menjawab, Menurutku tidak ada orang yang lebih pantas untuk bermimpi seperti itu selain engkau‌. Imam Hasan al-Bashri akhirnya memohon diri pulang dengan rasa hormat yang semakin besar kepada Imam Ibnu Sirin.

Muslim di Inggris selama berabad-abad

Muslim di Inggris selama berabad-abad
1. 1386
Caje8ff5 Chaucer mengikutsertakan referensi terhadap intelektual-intelektual Islam dalam Canterbury Tales.

2. Abad ke-16
John Nelson menjadi orang Inggris pertama yang beralih keyakinan ke Islam.


3. 1630-an
Universitas Oxford dan Cambridge menetapkan ketua jurusan bahasa Arab. Cacxotgb
4. 1641
Dokumen yang merujuk ke ‘sekte Mahomatens ditemukan di sini di London’.
5. 1649
Terjemahan bahasa Inggris pertama untuk Kitab Suci al-Qur’an oleh Alexander Ross. Caez0dil
6. 1700
Kelompok besar Muslim pertama tiba di Inggris dari India. Para pelaut yang direkrut oleh East India Company membentuk masyarakat Muslim pertama di pelabuhan-pelabuahan dan kota-kota. Komunitas lainnya datang dari wilayah yang sekarang merupakan bagian dari Bangladesh dan Pakistan.
7. 1869
Gelombang imigrasi kaum Muslim selanjutnya didorong oleh pembukaan Terusan Suez. Perdagangan yang meningkat membawa pekerja Yaman dan Somalia bekerja di pelabuhan Cardiff, liverpool, Pollokshields dan London.
8. 1886
Anjuman-i-Islam, yang lalu berubah nama menjadi Pan-Islamic Society, didirikan di London.

9. 1887
William Henry Quilliam, seorang ahli hukum Liverpool, beralih keyakinan ke Islam ketika berada di Maroko. Ca0dmn8x Ia mendirikan masjid Liverpool dan Institut Muslim, dan Madian House, sebuah panti asuhan di Liverpool. Ia juga menerbitkan ‘The Islamic World’ dan ‘The Crescent’; sebuah terbitan mingguan.

10. 1889 Masjid pertama dibuka di Woking.
11. 1910
Ameer Ali, seorang sarjana Islam, mengerahkan publik untuk sebuah pertemuan di Ritz yang meminta didirikannya ’sebuah masjid di London yang sepadan dengan tradisi Islam dan sepadan dengan ibukota kerajaan Inggris’.
12. 1911
Perundang-undangan tentang penyembelihan hewan memberi perkecualian untuk penyembelihan secara halal.
13. 1912
Cave4vfx Khwaja Kamaluddin, seorang pengacara pengadilan tinggi dari Lahore, tiba di London dengan satu tujuan untuk mengkoreksi kesalahpahaman tentang Islam. Setahun kemudian, ia mulai menerbitkan ‘Islamic Review’.
14. 1914
Lord Headley, warga Inggris yang beralih ke Islam mendirikan British Muslim Sciety.
15. 1928
London Nizamiah Trust didirikan untuk mempertimbangkan proposal untuk membangun sebuah masjid pusat di London.
16. 1940
Pemerintahan mengalokasikan dana £100.000 untuk membeli sebidang tanah untuk sebuah masjid di London.
17. 1941
Caa5lxou East London Mosque Trust membeli tiga bangunan di Commercial Road, Stepney, dan mengubahnya menjadi masjid pertama di London.
18. 1944
Raja George VI menghadiri pembukaan Islamic Cultural Centre di Regent’s park, London.
19. 1947
Tiga belas duta besar dari negara Muslim mendirikan central London Mosque Trust.
20. 1950 – 1960
Imigran Muslim tiba dari India dan Pakistan setelah pemisahan kedua negara tersebut. migrasi terdorong dikarenakan kekurangan pekerja di Inggris, khususnya pada industri besi dan tekstil di Yorkshire dan Lancashire.
21. 1951
Populasi Muslim diperkirakan mencapai 23.000.
22. 1960 – 1970
Gelombang imigran Muslim selanjutnya datang dari Afrika, utamanya Kenya dan Uganda, di mana banyak warga asia menderita akibat diskriminasi.
23. 1961
Populasi Muslim di Inggris Raya mencapai 82.000, terdorong oleh masyarakat yang terburu-buru ingin mendahului berlakunya Undang-Undang Imigran Persemakmuran ( 1962 ), yang menghapus hak izin masuk otomatis untuk warga negara Persemakmuran.
24. 1966
Delapan belas masjid di Inggris, yang meningkat dengan laju pertambahan tujuh masjid per tahun pada sepuluh tahun selanjutnya.
25. 1971
Populasi Muslim diperkirakan mencapai 369.000.
26. 1972
Idi Amin mengusir 60.000 Muslim Asia di Uganda. Banyak dari mereka menetap di Inggris.
27. 1973
Cagtu57g Islamic Council of Europe didirikan dengan markas besarnya di London. Dialog pertama antara Kristiani dan Muslim dengan tema ‘Islam dalam lingkungan Paroki’.
28. 1974
The British Council of Churces mengangkat sebuah kelompok penasihat untuk mempelajari Islam di Inggris.
29. 1976
Festival of Islam dibuka oleh Yang Mulia Ratu.
30. 1977
London Central Mosque dibuka di Regent’s park. Belfast Islamic Centre didirikan. Terdapat kira-kira 3.000 kaum Muslim di Irlandia Utara.
31. 1984
Ca4p2fkh Pendirian Islamic Relief, saat ini merupakan badan amal Muslim Inggris terbesar.
32. 1985
Terdapat 338 masjid yang terdaftar.
33. 1992
Peluncuran ‘Q-News’, majalah Muslim Inggris terbesar. Stasiun Radio Ramadhan pertama menyiarkan ceramah, musik religius dan diskusi di Bradford.
34. 1994
Islamic Society of Britain mengadakan acara Islamic Awareness Week yang pertama,Cabq7qf1 dirancang untuk meningkatkan kesadaran akan Islam dan menangani kesalahpahaman tentang Islam.
35. 1996
Commision on British Muslims and Islamophobia didirikan oleh badan Runnymede Trust yang independen.
36. 1997
Muslim Council of Britain ( MCB ) didirikan sebagai sebuah kelompok yang memayungi organisasi Muslim Inggris. Mohammed Sarwar menjadi anggota Parlemen Muslim pertama (untuk Govan).
37. 1998
Dua sekolah Muslim diberikan status penerima bantuan pemeliharaan. Warga muslim pertama diangkat menjadi anggota majelis Tinggi: Lord Nazir Ahmed dan Baroness Pola Uddin.
38. 2000
Kementrian Luar Negri mendirikan badan delegasi Haji tahunan untuk menyediakan bantuan medis dan konsular untuk 25.000 Muslim Inggris yang menjalankan ibadah Haji ke Mekkah setiap tahun.
39. 2001
Sensus Nasional mengikutsertakan sebuah pertanyaan mengenai agama untuk pertama kalinya. Menyusul kerusuhan di kota-kota Yorkshire, Cag92x9q sebuah tinjauan atas pesanan pemerintah yang dipimpin oleh Ted Cantle memberi rekomendasi dalam meningkatkan persatuan masyarakat. Pemerintah menyusun perundang-undangan yang memperluas undang-undang hubungan ras agar mencakup isu hasutan yang mendorong kebencian terhadap agama.
40. 2002
Pengangkatan imam penjara tetap pertama di Brixton, London.
41. 2003
Hoeard Davies, Wakil Gubernur Bank of england, memberi pidato penting yang mendorong perkembangan keuangan Islam di Inggris Raya. Peraturan pajak mengenai pembelian rumah diperbaiki untuk menfasilitasi hipotek Islam. Pengenalan perundang-undangan yang melarang diskriminasi di tempat kerja atas dasar keyakinan agama.
42. 2004
Bank Islam pertama di Eropa, Islamic Bank of Britain, Ca6jkxyb membuka cabang pertamanya di Brimingham. Alp Mehmet diangkat sebagai Duta Besar muslim Inggris pertama (untuk Islandia).

43. 2005
Kementrian pertahanan mengangkat Asim Hafiz sebagai ‘paderi’ Muslim untuk angkatan bersenjata. Badan amal Muslim berpartisipasi dalam kampanye Make Poverty History. Menyusul pengeboman di London pada tanggal 7 Juli, pemerintah mengerahkan kelompok kerja Muslim Inggris di bawah bendera Preventing Extremism Together. Dalam dua hari setelah gempa bumi di Kashmir, badan amal Muslim Inggris telah mengumpulkan dana £1,75 juta untuk bantuan darurat.
44. 2006
Victoria & Albert Museum membuka galeri baru yang didedikasikan Cauhktcm kepada kesenian Islam. Pameran 1001 penemuan, menyorot kontribusi bangsa Arab dan Muslim pada kehidupan Modern, dibuka di Manchester Museum of Science and Industry. Amjad Hussain menjadi laksamana Muslim pertama di Inggris.

IHSAN!!

1. Mengapa Ihsan dihubungkan (difahami) sebagai dimensi Tasawuf dalam Islam ?

Pada dasarnya mempelajari tasawuf berarti berusaha dan terus berproses untuk memurnikan segala aktifitas kita di dunia, yaitu diantaranya dengan Tazkiyyatun-nafs­ atau mensucikan diri kita dari sifat-sifat yang tercela atau bisa menggangu kita dalam menggapai sesuatu yang haqiqi. Selain itu juga tasawuf yaitu berproses untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT (taqarrub ila Allah), diantaranya dengan berdzikir dan selalu ingat kepadanya.


Di dalam agama Islam ada tiga dimensi, yaitu syari’ah, thariqah dan haqiqah. syari’ah atau hukum Tuhan adalah dimensi eksoterik Islam yang lebih banyak berurusan dengan aspek lahiriyyah, thariqah atau jalan spiritual, yang sering disebut sufisme atau taswuf. Sedangkan haqiqah adalah realitas terdasar, ultimate reality, yaitu tuhan. Kesatuan antara syari’ah dan thariqah ini tidak bisa dilepaskan karena melalui syari’ah dan thariqah inilah manusia bisa sampai kepada tujuan akhirnya, yaitu haqiqah.

Caqly783

Dimensi Islam tersebut, yaitu syari’ah, thariqah dan haqiqah dari suatu sudut pandang, sejajar dengan tiga dimensi lain, yaitu islam, iman dan ihsan. Sebutan Qur’ani untuk fenomena yang oleh generasi-generasi Muslim belakangan disebut “sufisme” atau “tasawuf” adalah Ihsan ( berbuat kebaikan ). Ihsan adalah suatu kualitas ilahi dan insani yang banyak sekali diungkapkan oleh al-Qur’an, yang secara khusus menyebutkan bahwa Allah mencintai orang-orang yang mempunyai kualitas ini. Dalam hadits yang terkenal, Nabi SAW. Mendiskripsikan ihsan sebagai dimensi terdalam dari islam, setelah islam (“penyerahan diri” atau perbuatan yang benar ) dan iman ( “iman” atau pemahaman yang benar ). ihsan adalah suatu pemahaman dan pengalaman terdalam yang dalam kata-kata hadits tadi, memungkinkan seseorang “menyembah Allah seolah-olah seseorang tersebut melihat-Nya” ( an ta’buda Allah ka’annaka tarahu ).

Ihsan adalah sesutu yang esoteris atau inti dalam islam, ihsan ini ditempuh setelah islam dan iman. Begitu pula yang dilakukan oleh para sufi yang selalu berbuat untuk mensucikan diri dan mendekatkan diri kepada Allah SWT. Tasawuf juga bisa disebut jalan yang utama untuk menuju tuhan, jadi tasawuf bisa diidentikkan dengan ihsan, yang dijadikan jalan tertinggi sesudah islam dan iman, dan ihsan difahami sebagai dimensi tasawuf, karena sama-sama inti ajaran dari agama Islam.

2. Ihsan dihubungkan dengan :

· Penghayatan tentang Allah SWT ?

Ihsan adalah inti ajaran dari agama islam, tentunya mempunyai penghayatan yang sangat dekat dengan tuhannya ketika seseorang sudah mencapai pada tingkatan ini, atau ketika seseorang sudah mencapai tingakt ihsan, maka dia dalam beribadah atau menghayati tuhannya yaitu sebagai sesuatu yang agung, yang haqiqi yang realitas sebenarnya.

Caer13et

Seseorang yang sudah mencapai tahapan ini dia akan selalu merasa berada dekat dengan tuhannya, dia akan ikhlas menjalankan segala sesuatu yang diperintahkan oleh tuhannya, rela meninggalkan keinginana syahwatnya karena ada larangan dari tuhannya. Kerinduan yang sangat besar untuk berjumpa dengan tuhannnya, tidak ada rasa untuk menerima balasan atas perbuatan baiknya yang dia rasakan hanyalah ingin berjumpa dengan tuhan yang telah menciptakannya.

· Tanggung jawab sosial seorang manusia ?

Ketika seseorang sudah merasakan tuhannya sangat dekat dan dia sangat mematuhi segala perintahnya dan menjauhi segala larangannya maka dia akan sangat sadar bahwa tuhannya tidak menciptakan dia sendiri,.

Ada

sesuatu yang lain diluar individunya. Dan dia sangat sadar bahwa ada sebuah tanggung jawab sosial kepada yang lainnya karena dia yakin bahwa disekelilingnya itu adalah hamba Allah yang sama-sama mencari suatu kebenaran yang haqiqi.

Kepekaan yang dipunyai oleh seseorang yang telah sampai kepada tingkatan ihsan adalah kepeakaan sosial yang terbimbing oleh cahaya pengetahuan ilahi, dimana setiap dia bersosialisasi dan membantu sesamanya tidak ada rasa untuk menerima balasan ataupun mengharapkan ungkapan terimakasih dari sesamanya, yang ada hanyalah keikhlasan dan keridhaan akan tugas yang diperintahkan oleh tuhannya, yang ada hanyalah kebahagiaan dan keikhlasan dalam menjalankan perintah Allah SWT.

· Perilaku yang baik ( Akhlakul Karimah ) ?

Perilaku yang baik adalah perilaku atau tingkah laku yang tidak menyakiti sesamanya atau orang lain. Seseorang yang telah mencapai kepada ihsan, maka hatinya akan terbimbing oleh tuhannya. Cae7klur Dia tidak akan keluar dari ajaran atau syari’ah yang telah ditentukan oleh tuhannya. Karena kesadaran dan kepatuhan kepada tuhannya, maka akan memancar dalam dirinya perilaku yang baik atau akhlak yang mulia. Yang dinilai oleh sesamanya sebagai orang yang berperangai baik dan tidak pernah menyakiti setiap orang yang ditemuinya. Santun dalam berbicara dan sopan dalam bertingkah laku.

· Keshalehan individu dan keshalehan sosial ?

Setelah perilaku yang terkontrol dan terpelihara maka yang muncul adalah sebuah keshalehan atau hamba yang yang baik, baik itu dalam tingkah lakunya maupun beribadah kepada Allah SWT. Selain itu juga dia tidak mungkin harus cacat dengan shaleh atau baik secara pribadi, maka akan muncul keshalehan atau sikap baik yang muncul atau diperuntukkan kepada sesamanya yang disebut dengan keshalehan sosial karena dia peduli dan sadar akan sesamanya.


Tasawuf - mind / behavior -

Apa saja yang menjadi subject matter (bidang kajian) tasawuf? Apakah objek tasawuf berkenaan dengan jiwa (mind) atau berkenaan dengan perilaku (behavior) ?

Bidang kajian dari ilmu tasawuf adalah usaha dan proses seorang manusia dalam menjalani kehidupannya di dunia. Usaha dan proses apa yang menjadi kajian tasawuf ? yaitu proses dan usaha dimana seseorang membersihkan, mensucikan atau menjernihkan pikiran, perasaan dan keruhaniannya. Dalam ilmu tasawuf seseorang diajarkan untuk berjuang dalam membersihkan pikirannya dalam memandang persoalan hidup, baik dia berpikir tentang dirinya, lingkungannya, alam semesta dan tentang tuhannya. Perasaan yang dibimbing oleh tasawuf maka dia akan diajarkan bagaimana sikap dia dalam menanggapi sesuatu dengan perasaannya, tentunya dengan penuh kesadaran dan tanggung jawab.


Axs8y92ca59f67mcazrinfwca2gbyxccaly1ddxc Tasawuf membimbing perasaan supaya terkontrol dan menyadari bahwa perasaannya itu akan terus berusaha menjadikannya jernih dan berusaha untuk membersihkannya dalam situasi apapun dan bagaimanapun baik pandangannya terhadap alam, dirinya, lingkungan dan tuhannya. Begitu juga dengan keruhanian, tasawuf adalah proses dimana proses atau usaha itu untuk mensucikan atau membersihkan ruhaninya. Saat seseorang beragama maka dia akan dibimbing dalam ruhani keagamaannya supaya menjadikannya sadar dalam beragama dan terus berproses dalam usaha untuk membersihkan ruhaninya. Serta menyadarkannya bahwa dia mempunyai ruhani dan mempunyai sebuah tanggung jawab terhadap tuhannya. Karena tasawuf bergerak pada dua sisi, yaitu sesuatu yang ideal dan realitas, maka apakah taswuf berkenaan dengan jiwa atau hanya berkenaan dengan perilaku manusia ? kedua-duanya bukan pilihan, karena tasawuf berkenaan terhadap jiwa dan perilaku. Saat manusia berusaha untuk membersihkan hati atau pikirannya, maka dia berada dalam alam yang ideal. Akan tetapi dalam proses pembersihannya itu dia tidak bisa keluar dari tingkah lakunya sebagai manusia yang mana manusia itu adalah makhluk sosial yang tidak bisa lepas dari yang lainnya. Jadi ketika hatinya berusaha dalam proses pembersihan, maka tindakannyapun akan ikut serta dalam membantu proses tersebut. maka ketika tersirat dalam pikiran sebagai alam idea, maka akan terimplikasikan dalam kehidupan sehari-hari yang bergerak dalam alam realitas, maka mustahil jika kita memisahkan hal tersebut, karena tasawuf bergerak dalam kedua hal tersebut. Maka dapat disimpulkan bahwa tasawuf berkenaan dengan jiwa dan perilaku manusia.


Akar Muslim di Tanah Inggris

Ketertarikan yang tumbuh terhadap keyakinan Muslim adalah sedemikian besarnya sehingga sejumlah warga Inggris ternama beralih keyakinan ke Islam.



Penemuan arkeologis menyatakan bahwa sejarah Muslim di Inggris telah berusia lebih dari 1.000 tahun.


Penemuan bros dari abad kesembilan berukiran Basmalah, sebuah tulisan Islam yang berarti ’dengan nama Allah – yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang’, di Irlandia Tenggara dan pada mata uang logam dari abad ke delapan di masa kekuasaan Raja Offa yang berukirkan pernyataan keyakinan kaum muslim, memberikan kilasan akan sejarah yang baru sedikit diketahui ini.

Namun, baru pada awal abad ke delapan belas-lah kelompok Muslim besar pertama tiba di Inggris dari India. Selama 200 tahun selanjutnya, perdagangan dan perniagaan meningkatkan kontak antara negara Inggris dan negara-negara Muslim, khususnya saat kapal dagang Inggris mulai merekrut awak kapal asing. Pada tahun 1842, sekitar 3.000 awak kapal Muslim – dikenal sebagai ’laskar’ – mengunjungi Inggris setiap tahun.

Images_4

Beberapa dari mereka menikah dan menetap di kota-kota seperti Cardiff, Liverpool, Glasgow dan London. Ketertarikan yang meningkat terhadap keyakinan Muslim sedemikian besarnya sehingga sejumlah warga Inggris ternama beralih keyakinan ke Islam. Di antaranya adalah Lord Headley, keturunan Baron of Headley kelima dan seorang insinyur sipil ternama yang membangun jalan antara Baramula dan srinagar di provinsi pegunungan Kashmir; William Quilliam, seorang pengacara dan penyair yang mendirikan masjid pertama Inggris; dan novelis dan penerjemah Qur’an, Muhammad Marmaduke Pickthall. Masjid pertama Inggris dibuka di Woking, Surrey, pada tahun 1889.

Migrasi Muslim berskala besar ke Inggris dimulai pada tahun 1950an. Para imigran – kebanyakan mereka berasal dari Asia Selatan – menjawab tantangan adanya kekurangan pekerja menyusul perang dunia kedua. Mereka kebanyakan menetap di daerah dalam kota London, kota-kota Industri Midlands dan kota-kota tekstil Lancashire, Yorkshire dan Strathclyde.


Berdasarkan sensus tahun 2001, terdapat sekitar 1,6 juta Muslim di Inggris, dimana 50% diantaranya lahir di Inggris.


Saat ini, orang-orang Muslim yang tinggal di Inggris berasal dari latar belakang nasional dan budaya yang luas.

Images_5 Populasi tersebut meliputi jumlah yang cukup banyak dari warga Inggris dan Eropa yang beralih keyakinan ke Islam. Terdapat masyarakat Muslim di Seluruh Inggris, walaupum mereka terkonsentrasi di London, Manchester, Birmingham dan Bradford.