Sabtu, 19 April 2008

Teks Hukum, Dunia dan Sejarah

Teks Hukum, Dunia dan Sejarah Ringkasan Pengantar : Kesinambungan Teoritis Sebagai sebuah konstruksi teoritis, teori hokum sunni sejak awal telah mengoperasikan dua level diskursus yang antara keduanya harus dibedakan secara jelas kalau kita ingin mendapatkan pemahaman yang cukup mengenai teori ini dan sejarahnya. Sunnisme sebagai sebuah identitas keagamaan dan sekaligus hukum ditetapkan dengan membangun prinsip-prinsip teoti hukum. Ajaran-ajaran teologis tertentu yang elementer, Ushul Fiqh Sunni didasarkan atas sejumlah asumsi dasar yang telah dicirikan sebagai teori hukum yang tetap. Yaitu menganggap empat komponen dasar hukum.


Empat sumber hukum itu hanya dianggap konstan (kekal) sejauh keempatnya didefinisikan secara luas sebagai dasar-dasar bagi sistem hukum. Garis yang membedakan antara yang kekal dan yang tidak kekal (atau level kedua yang akan kita sebut variabel-variabel) adalah sesuatu yang memisahkan sebuah ”sumber” sebagai sebuah postulat atau kumpulan postulat yang diterima secara luas dari cara-cara memahami, menafsirkan, atau menafsirkan kembali sumber tersebut. Variabel-Variabel Teori Hukum Dalam teori hukum, hal ini terwujud dalam sebuah penyelidikan terhadap variabel-variabel yang membentuk kolektivitas yang kita sebut Ushul Fiqh, baik secara diachronic (historis) maupun synchronic. Untuk memahami teori ini, adalah penting memahami tidak hanya yang konstan tetapi juga peran dari variabel-variabel yang memberikan warna khas kepada masing-masing teori, dan penjelasan keunikan individual dari masing-masing pembuat teori itu. Mereka mempunyai tipe-tipe yang berbeda dan mewujudkan diri mereka dalam cara-cara yang bermacam-macam. Kandungan dan Susunan Pokok Persoalan Satu gejala dari variabel-variabel ini adalah fakta tentang kontroversi mengenai materi pokok dari teori hukum sering kali seorang teoritisi menunjukan kesadaran yang dalam terhadap materi-materi yang cocok dan yang tidak cocok untuk dimasukkan dalam teori hukum. Ghazali, misalnya mengritik para teoritisi yang menurutnya telah berlebih-lebihan dalam membahas isu-isu yang berkaitan dengan teologi, hukum positif dan tata bahasa (grammar) Arab. Images_20 Syatibi (w. 790/ 1388 M) melanjutkan gugatan itu dengan mengritik dimasukkannya materi-materi yang tidak berhubungan dengan fungsi dan tujuan teori hukum, yaitu penemuan aturan-aturan hukum yang sesungguhnya (substantif). Logika Yunani, dialektika hukum, dan preposisi bahasa (linguistik) adalah tiga topik lain yang dimasukkan dalam beberapa karya, tetapi dikeluarkan dari karya-karya yang lain. Sementara topik-topik ini dikeluarkan dari teori-teori tertentu karena satu alasan, mereka memperoleh jalan untuk masuk dalam sejumlah besar teori-teori yang lain, berpengaruh atau tidak, untuk membiarkan mereka mengamankan satu tempat dalam sejarah Ushul Fiqh. Isu-isu yang tampaknya sudah diperkenalkan kepada sebuah teori tertentu secara khusus, dan yang tampak tidak dibahas lagi dalam teori-teori lain. Dua contoh dalam hal ini terdapat pada karya Ghazali dan Tufi (w. 716H/ 1316M). Dalam kitab al-Mustasyfa, Ghazali membahas pada sub bab tentang taqlid, gagasan-gagasan ta’limi tentang konsep ini yang dia kritik dan tolak dengan penuh semangat. Sebuah isu yang lebih singkat lagi munculnya ada pada karya Tufi, Syarah Mukhtasyar ar-Rawdhah, sebuah komeentar terhadap ringkasan Tufi sendiri atas karya Ibnu Qudamah (w. 620H/ 1223M) Rawdhah an-Nadzir.Tufi dalam karyanya menyediakan sejumlah halaman untuk masalah tarjih ini dimana ia menyetujui pemikiran Abdu Jabbar bahwa prinsip tarjih secara sah dapat dibawa untuk menyinggung madzhab-madzhab hukum. Manifestasi lain dari perbedaan-perbedaan dalam karya-karya teori hukum adalah pengaturan materi pokok. Dalam hal ini juga jarang didapati dua teoritis yang mengikuti pola yang sama. Hal itu harus dilihat untuk merefleksikan persepsi tertentu dari seorang teoretisi hukum mengenai saling keterkaitan antara semua bagian (materi pembahasan) itu hubungan antara masing-masingnya, dan hal ini pada gilirannya merefleksikan keunikan dan perbedaan kualitas pemikiran dari setiap ahli teori hukum tentang apa itu teori dan bagaimana ia dapat memenuhi tujuannya. Dalam beberapa lama, topik-topik sentral tertentu dari teori hukum dibahas secara sangat detail, seolah layak untuk diterbitkan secara terpisah sebagai karaya tersendiri. Teori-teori Pembenaran Variabel-variabel diskursus hukum juga direfleksikan dalam perkembangan teoritis yang terjadi sebagai hasil dari perubahan persepsi yang bersamaan dari hukum substantif. Hukum substantif yang yang tercatat kekurangan metodologi yang sistematik dan koheren, sebuah metodologi yang setelah masa pembentukan, menjadi tidak terkekang dalam menggunakan teks wahyu sebagai titik tolak dan sebagai kerangka referensi yang khusus dan utama. Warisan dari abad ke 2/8 adalah korpus hukum substantif yang didasarkan atas sebuah metodologi yang tidak selalu cocok dengan standar-standar yang ketat dari para teoretisi yang belakangan. Tetapi semua ini tidak lebih dari label-label. Apa yang telah menjadi isu adalah peraturan hukum positif yang datang pada abad pertama dan kedua Islam yang menjadi kumpulan hukum yang diakui dan dibentengi serta dibela oleh mereka yang sangat ahli diantara para teoretisi hukum. Jika hukum dasar yang awal tidak dimodifikasi kandungannya dalam skala apapun yang bisa dipertimbangkan, maka secara teorotis ia sudah dijustifikasi dalam satu atau lain cara. Images_21 Ketika Abu Hanifah mengambil jalan mentarjih hukum, dia tidak selalu merasa dirinya terikat pada semangat atau teks wahyu. Penyesuaian yang ada menjadikan metode tarjih hukum (juristic preference) diterima oleh para ahli teori hukum dari kalangan madzhab Maliki, Syafi’i dan Hanbali. Pembenaran untuk meninggalkan satu qiyas dengan menyetujui yang lain dibuat sangat cocok sehingga madzhab Hanbali pun mengadopsinya, sebagaimana diperlihatkan dalam tulisan Ibnu Taymiyyah. Madzhab Hanafi bersama madzhab Maliki memiliki sejarah yang sama. Kesimpulan yang diperoleh melalui nazhar dan ra’y tidak secara eksklusif menjadi wewenang para pengikut Hanafi. Imam Malik misalnya, memiliki bagian terbesar dalam praktik seperti itu. Tetapi sementara kasus-kasus nazhar dan ra’y itu dinyatakan oleh golongan Hanafi sebagai ”tarjih hukum”(juristic preference), golongan Maliki menganggapnya termasuk kepentingan umum (istislah, maslaha).adalah signifikan bahwa istilah maslaha dan istislah dalam konotasi teknis bahkan setengah teknis, belum ada pada dua abad, dan mungkin tiga abad pertama Hijriyah, ketika hukum substantif telah sepenuhnya berkembang. Pada pertengahan abad ke 5/11, gagasan masalih mursalah bukan hanya telah menjadi elemen pemikiran hukum yang dapat diidentifikasikan tetapi juga telah memasuki wilayah qiyas untuk menjadi unsur esensi di dalam doktrin kesesuaian (munasaba). Ghazali tampaknya termasuk teoretisi terkemuka yang mengelaborasi doktrin munasab secara detail, dan demikian juga maslaha mursala. Tetapi usahanya itu tidak sebanding dengan apa yang dilakukan oleh al-Shatibi yang menyusun seluruh teori, dengan struktur yang mengesankan dan mengagumkan, disekitar doktrin maslaha. Perkembangan yang terjadi pada wilayah maslaha dan istihsan berlangsung bersamaan dengan perkembangan besar yang lain yang tanpanya pertumbuhan teori hukum secara keseluruhan akan terhambat, yaitu perkembangan pokok dari ’illat (ratio legis) yang pada abad ke-5 pembentukannya telah membuat kagum Imam Syafi’i, Ibn Hanbal dan orang-orang semasanya. Sebagai tambahan pada kebutuhan-kebutuhan hukum dasar bagi bagi pengembangan lebih jauh atas teori ini, terdapat sekumpulan diskursus logika yang diimpor dari yunani yang bias didapatkan olehpara ahli teori hokum yang terlibat dalam beberapa lapangan kegiatan intelektual lainnya. Apa yang harus diadopsi harus cocok dengan kebutuhan-kebutuhan teori sebagaimana telah dikembangkan pada abad ke 5/11; tetapi diatas semuanya, ia harus selaras dengan atau dapat diselaraskan dengan asumsi-asumsi umum. Apakah pemikiran hokum Islam terpengaruh oleh logika Yunani atau tidak, yang pasti pemikiran ini telah memainkan peranan penting pada perkembangan teori hokum berikutnya. Pada abad ke 5/11, induksi (istiqra’) dalam bidang hokum mulai mendapatkan dasar, sebagaimana terlihat dari munculnya prinsip induksi tematik (qawa’id fiqhiyah) dari hadits-hadits Nabi (tawatur ma’nawi). Pada abad ke 5/11 pembentukannya, prinsip induksi tematik (qawa’id fiqhiya) dari hadits-hadits ahad hanya merupakan pendahuluan bagi apa yang muncul kemudian, membuka jalan bagi perkembangan yang lebih signifikan dalam teori hokum.pentingnya induksi ditandai dengan penempatannya dalam susunan indicator yang diklasifikasikan oleh Qarafi; induksi ditempatkan setelah Qur’an, Sunnah, Ijma’, Qiyas, Qaul Shahabi, Maslaha Umum, Prinsip terus berlangsungnya hokum (istishab / presumption of continuity), dan hukum adapt (customary law) yang terakhir ini diakui dalam hukum atas dasar prinsip dugaan. Sebuah argument yang didasarkan atas survey induktif dari dalil-dalil yang relevan dianggap memiliki otoritas yang sama dengan argument yang lain. Asimilasi Prinsip-Prinsip Logis dan Teologis Sekarang jelas bahwa teori hukum sebagai sekumpulan ide-ide dan prinsip-prinsip tidak terwujud dalam kevakuman tetapi lebih disebabkan oleh kontribusi yang relevan dalam kadar tertentu yang dibuat dalam bidang-bidang kegiatan intelektual yang lain. Dari bidang teologi (kalam), disumbangkan unsure-unsur fundamental tertentu yang yang menjadi bagian integral dari sejumlah, kalau bukan kebanyakan teori hukum. Bagaimanapun, doktrin-doktrin teologi banyak yang ditolak, sebanyak yang diadopsi. Fakta bahwa para ahli teori hukum menganggap berguna untuk mencurahkan energi mereka guna menolak doktrin-doktrin teologi tertentu menunjukan relevansi doktrin-doktrin ini dengan isu-isu dalam teori hukum. Pada isu-isu tertentu, teori hukum secara tidak langsung terpengaruh oleh doktrin rasionalis. Sebuah hukum yang keras mungkin menjadi subyek dari perselisihan penting, bukan atas dasar pertimbangan hukum apapun tetapi lebih dikarenakan penerimaan atas satu pemikiran yang secara logika berimplikasi pada pengakuan validitas dari doktrin teologi yang ditolak. Pada tingkat permulaan perkembangannya, teori hukum tampak memiliki hutang lain kepada kalam, yaitu dialektika (jadal dan munazhara) yang menduduki tempat utama pada keseluruhan teori ini. Peminjaman dilakukan secara selektif yang dikesankan oleh perbedaan antara dialektika para filusuf dengan dilektika yang baik (al-jadal al-hasan) yang sejalan dengan semangat hukum dan teori hukum. Pada pertengahan abad 4/10, seluruh risalah mengenai dialektika hukum tampak sudah eksis, dan nama al-Qaffal al-Shashi dihubungkan dengan komposisi awal dari apa yang disebut dialektika yang baik. Dialektika membentuk tahap akhir dari proses pemikiran hukum dimana dua pendapat yang saling bertentangan atas sebuah kasusu hukum dihadapkan satu sama lain dalam satu materi dari sebuah sesi argumentasi yang teratur dengan maksud untuk mengokohkan kebenaran dari salah satunya. Fungsi untuk mempersempit ketidakcocokan ini dengan mengokohkan tempat dimana ada kebenaran, menjadikan seni berdebat-yang dikenal juga sebagai adab al-bahts wa al-munazharah-penting bagi teori hukum, walaupun seorang bias mendapatkan sejumlah risalah yang tidak menyediakan tempat untuk menulis seni ini. Sebuah ciri teori hukum yang juga menonjol, yang kita cirikan sebagai salah satu variabel diskursus hukum, adalah logika formal Yunani. Faktanya adalah logika harus menunggu lebih dari dua abad setelah diperkenalkan kepada dataran intelektual Islam sebelum diakomodasikan dalam teori hukum. Sumbangan Ghazali pada formalisasi dan anlisa logis dari srgumen-ergumen hukum parallel dengan sumbangannya kepada epistemology,dan pada dua bidang penyelidikan filosofi yang slaing berkaitan ini, warisan Ghazali tetap bertahan. Ditegaskan bahwa untuk menghindarkan kemunduran yang tak terbatas, akal harus dilihat sebagai sesuatu yang berkembang dari beberapa a priori atau bahkan pengetahuan aksiomatic yang belum ada (preexisent) menuju konsep-konsep baru (tasawwurat) dengan menggunakan definisi-definisi (hudud; tunggal hadd). Dalam hal ini para teoretisi berbeda pendapat dengan para filosof, mereka berpendapat bahwa apa yang dikatakan silogisme (qiyas) oleh para filosof, tidak lebih dari sebuah pengambilan kesimpulan dari premis-premis yang tertentu, sementara qiyasnya para fuqaha mencakup premis-premis yang mungkin. Perbedaannya terletak pada kualitas premis-premis, karena bentuk dan struktur analogi tidak berbeda dari bentuk dan struktur silogisme dalam pengertian bahwa kedua tipe premis-premis itu menuntut muqaddimah dari suatu partikularitas dibawah sebuah generalitas. Puncak perdebatan dalam menyamakan silogisme filosofis dengan qiyas hukum mungkin mendapatkan ekspresi yang paling baik dalam tulisan-tulisan seorang faqih dan teolog mazhab Hanbali Taqi al-Din Ibn Taymiyya yang menekankan bahwa silogisme, berdasarkan bentuknya saja, tidak bias menghasilkan kesimpulan yang memberi kepastian. Term tengah dalam silogisme adalah ‘illat dalam analogi, dan premis mayor yang mengandung term mayor dan tengah, sebanding dengan kecocokan (talazum) atau hubungan penting antara ‘illat di satu pihak dengan kasus asal dan baru di pihak lain. Apapun yang diberlakukan untuk membuktikan kebenaran dan kepastian dari premis universal dalam sebuah silogisme juga diperlukan untuk membuktikan bahwa ‘illat tentu selalu cocok dengan peraturan. Dengan demikian, membuat karakter universal dari premis mayor sama dengan memverifikasi bahwa bila ada ‘illat ada hokum. Lebih jauh lagi, metode untuk membuat ‘illat, lebih-lebih metode yang digunakan sesuai dengan prinsip-prinsip ittirad, menjamin bahwa apabila suatu pemikiran diterima sebagai sesuatu yang valid dalam satu kasus, ia pasti valid dalam kasus-kaua yang lain. Bagaimanapun, kita harus segera tambahkan bahwa banyak teori hukum tidak mengikuti pandangan Ibn Taymiyya berkaitan dengan superioritas analogi atas silogisme. Sementara Ibnu Taymiyya menentang seluruh logika yunani, mereka tidak. Apa yang mereka anggap dapat diterima adalah pandangan, didukung oleh Ibnu Taymiyya dan lain-lain, bahwa analogi dapat direduksi kepada bentuk silogisme. Mengikuti langkah Ghazali, Ibnu Qadamah mengikuti risalah teoti hukumnya dengan pengenalan logika dimana dia tidak hanya membahas tasawwur, tasdiq, dan hadd, tetapi juga melukiskan tipe-tipe silogisme, syarat-syarat validitasnya, dan sifat memungkinkannya dipakai untuk mendukung hokum. Argumentasi dalam seluruh pengetahuan menurutnya harus sesuai dengan aturan-aturan silogisme, dan agar analogi (qiyas) menjadi valid harus bias direduksi kepada figur silogisme yang pertama (kategoris). Sebuah pendekatan berbeda yang menyatukan logika dengan hokum tampak pada sesame penganut madzhab syafi’I yang lebih muda dari Ibnu Qadamah, Syaf al-Din al-Amidi yang sebgaimana al-Ghazali, sangat terlibat dalam mempelajari logika dan filsafat yunani. Bagaimanapun al-Amidi memulai karyanya dengan beberapa catatan bahwa ilmu pengetahuan apapun dating melalui tasawwur dan tasdiq, dan bahwa salah satu dasar dari indicator hokum, yakni dalil, dapat digunakan untuk mendukung kesimpulan hokum. Disini, dia menklasifikasikan indicator ke dalam tiga tipe ; rasional, revelational (berdasar wahyu), dan kombinasi antara keduanya. Menjelang akhir karyanya, Amidi menyediakan satu bab untuk membahas indikator independent dari qiyas, satu bab yang dia beri judul istidlal, yaitu argument-argumen yang didasarkan atas dalil-dalil. Seorang teoretisi madzhab Maliki, Ibn Hajib (w. 646/1248) menunjukkan komitmen yang sama terhadap penyatuan logika dengan teori hokum seperti yang telah dilakukan oleh pendahulunya, Ghazali Ibn Qadamah dan Amid. Dalam tradisi para teoretisi yang meendasarkan teori hokum kepada hokum, bahasa, dan teologi (kalam), Images_23 Ibn Hajib menyediakan beberapa tempat dalam pendahuluan karyanya untuk ketiga hal itu. Tetapi berapapun jumlah mereka, dan sejauh apapun mereka ingin menandakan teori hokum pada struktur logika formal, satu hal jelas ialah bahwa ketidak-konsikuenan pengaruh logika formal di dalam kontribusi definitive dan silogistik atas persyaratan-persyaratan actual dan prosedur substantive dari pemikiran hokum. Tugas seorang teoretisi diakui tidak bias direduksi hanya untuk menjawab persoalan-persoalan yang muncul dari kehidupan sehari-hari. Seorang teoretisi adalah ahli hokum, faqih, dan juga intelektual. Semua ini memberi mereka kerangka berpikir konseptual yang menarik, logis, epistemologis dan tertinggi, yang tampak mengungguli teori pengetahuan kalam tradisional. Silsilah formula (rumus) yunani tampak lebih benar-benar disandarkan atas epistemologis yang dihargai daripada atas doktrin yang diterima secara tradisional bahkan baru-baru ini diterima. Logika adalah sarana untuk mendapatkan pengetahuan filosofi dan semua bentuk pengetahuan, termasuk teori hokum. Dalam kerangka berpikir intelektual eksternal inilah, teori hokum harus ditempatkan. Dan kerangaka berpikir inilah yang membentuk konstribusi logika bagi teori hokum. Pertumbuhan Kumulatif dan Perkembangan Akhir Sebagai tambahan terhadap variabel-variebel yang terbentuk dalam teori hukum melalui asimilasi logika, elemen-elemen teologis dan lainnya, sejumlah perkembangan internal dan substantif memberikan sumbangan variabel-variabel tmbahan. Kami mencirikan variabel-variabel ini sebagai internal karena berasal dari dari komponen-komponen teori hukum yang membentuk materi pokonya, berbeda (berlawanana) dengan logika dan teologi Yunani yang ‘asing’. Anggaplah misalnya, kontroversi sekitar keberadaan mujtahid, sebuah persoalan yang tidak muncul dalam bentuk apapun sebelum abad ke 6/12. menjelang akhir abad itu atau mungkin pada permulaan abad 7/13, kontroversi itu menjadi bagian dari diskursus formal dan teoretisi. Apa yang relevan bagi kita dalam hal ini adalah suasana dimana masalah ini berkembang dari perdebatan ilmiah menjadi pembahasan formal dalam seluruh teori yang muncul belakangan. Patut dicatat bahwa fokus perdebatan adalah “gate of judgship” (pintu kehakiman), bukan pintu ijtihad. Dalam catatan Amid, seperti juga dalam seluruh pembahasan terakhir dalam masalah ini. Pengutipan dalil tekstual menjadi normatif. Menurut Amidi, orang-orang Hanbali dan beberapa pengikut Syafi’i mengemukakan dua argumen untuk mendukung posis mereka, satu berupa daliol Syar’i dan yang lain berupa dalil ‘aqli. Poin yang ditekankan disini adalah bahwa teori hukum tetap berkembang dengan memperkenalkan isu-isu baru yang menjadi begian dari kebutuhan teori hukum itu. Teoti harus merespon realitas sistem hukum duniawi dan praktek hukum. Mungkin tidak ada ilustrasi yang lebih baik mengenai respon teori hukum terhadap perubahan realitas dunia daripada pembahasan mengenai hubungan antara para mujtahid dengan para mufti. Sampai pertengahan abad ke 5/11, semua teoretisi yang karya mereka dapat kita temukan menegaskan bahwa agar seorang mufti memenuhi syarat untuk mengemukakan fatwa, dia harus mencapai tingkatan mujtahid. Sekitar satu abad kemudian. Doktrin ini menimbulkan perubahan fundamental yang sekali lagi direfleksikan pertama kali pada karya Amidi, sekalipun jejak-jejak awal perubahan itu jauh dari doktrin konvensional sudah jelas dalam karya non-teoretis dari Abu al-Walid Ibn Rusyd (w. 520/1126). Tetapi seorang tokoh sezaman Amidi yang lebih muda, Ibn al-Hajjib, benar-benar mengakui realitas praktik hukum. Dia menegaskan bahwa seorang faqih yang mengetahui doktrin dari suatu mazhab dan yang mampu berpikir secara tepat, tetapi dia sendiri bukan seorang mujtahid- berhak mengeluarkan fatwa. Awal abad ke-7/13, pemikiran bahwa seorang muqallid dapat berfungsi sebagai mufti tampaknya telah diterima secara umum, walaupun pada penjelasan-penjelasan belakangan tampaknya kontroversi itu menjadi lebih kompleks. Dalam karya-karya ini, tercatat empat pemikiran berbeda berkaitan dengan persoalan ini. Menurut yang pertama, seorang muqallid dibolehkan mengemukakan pemikiran hukum dengan syarat dia telah menguasai ajaran madzhabnya dan mampu berpikir secara benar. Yang kedua membolehkannya bertindak sebagai mufti hanya jika tidak ditemukan seorang mujtahid dikota dimana seorang penanya (mustafti) tinggal atau disekitar kota itu. Yang ketiga mengijinkan seorang muqallid untuk berfatwa, apa pun kualifikasi profesionalnya.pemikiran kempat berasal dari para teoretisi terdahulu yang menekankan bahwa tidak seorang muqallid pun berwenang memberi fatwa. Begitulah, selama masa kurang dari tiga abad, diskursus tentang persyaratan-persyaratan mufti telah berubah secara dramatis. Pada pertengahan abad ke-5/11, persyaratan itu satu dimensi yakni seorang mufti haruslah seorang mutahid. Realitas dimana para muqallid, bukan mujtahid, merupakan kendaraan bagi sistem hukum tidak dapat dibantah, dan teori hukum harus merespon perubahan-perubahan ini. Evolusi dari diskursus ini juga merefleksikan sebuah gambaran penting lainnya dalam sejarah teori hukum yaitu peran penafsiran pada perkembangan teori ini selanjutnya, sebuah peran yang sangat diabaikan oleh kesarjanaan (penelitian) modern, dengan akibat buruknya penafsiran-pebnafsiran itu benar-benar telah dibuang sama sama sekali, dianggap tidak orisinal dan tidak layak untuk kita perhatikan. Kajian mendetail dari tulisan-tulisan ini memperjelas bahwa para penafsir sering berusaha menyimpang dari atau memodifikasi doktrin-doktrin para ahli terdahulu yang karya-karyanya mereka tafsirkan. Kepercayaan atas karya-karya belakangan yang telah membawa beberapa perubahan adalah sebuah metode lain yang dengannya para penafsir membawa proses inilebih jauh. Kepercayaan para penafsir terhadap doktrin-doktrin belakangan merupakan tanda perubahan yang telah ditimbulkan. Penafsiran (syarh/penjelasan) bisa dicirikan sebagai komponen utama dari variabel-variabel teori hukum, dan memiliki potensi untuk riset masa depan. Tetapi kita harus hati-hati untuk membedakan antara beberapa tipe syarh atas karya-karya teori hukum. Tipe pertama memberi catatn konotasi bahasa dari istilah-istilah dan konsep-konsep teknis yang digunakan oleh pengarang asli atau, kalau merupakan syarh atau syarh, yang digunakan oleh pensyarah pertama. Peranan tipe syarh ini adalah untuk menjadikan teks yang sulit dapat diakses baik oleh mahasiswa maupun sarjana. Tipe syarh yang kedua menjelaskan secara rinci konsep-konsep yang belum dikembangkan dan mengembangka persoalan-persoalan yang muncul dalam teks asli. Seringkali terjadi bahwa syarh ini diperuntukkan bagi karya-karya kecil atau bagi ringkasan dari karya yang lebih besar yang ditulis oleh pembuat syarh sendiri. Apa yang signifikan dalam proses meringkas dan mensyarh ini adalah hasil akhir yang diwujudkan dalam syarh terakhir. Hasil dari proses ini adalah bahwa teks aslinya yang tidak diringkas hanya memiliki sedikit persamaan dengan syarh akhir. Tujuan yang dinyatakan oleh tipe syarh ketiga dan keempat secara berturut-turut adalah untuk mempertahankan atau mengritik sebuah doktrin tertentu. Beberapa syarh khusunya ditulis – sebagaimana diakui secara terbuka oleh para pengarangnya dalam beberapa kesempatan- dengan pemikiran untuk menangkis kritik yang diarahkan pada teori tertentu atau untuk menolak sebuah doktrin yang tidak mereka setujui. Akhirnya, tipe kelima mempunyai perhatian utama yaitu sintesa teori-teori yang diuraikan oleh para penulis dari berbagai mazhab hukum yang berlainan, atau terkadang sintesa doktrin-doktrin yang berbeda dari sejumlah teoretisi yang berasal dari satu mazhab. Kebanyakan syarh ini menunjukkan = ukuran keaslian dan kretifitas yang ditunjukan oleh para pengarang yang karya mereka dijelaskan oleh syarh ini. Singkatnya, ringkasan mereka dan khususnya syarh mereka menciptakan medium dan sarana pertumbuhan doktrin dan perubahan teori hukum. Tetapi perubahan dan pertumbuhan yang direfleksikan dalam syarh dan yang benar-benar merupakan sumbangannya, timbul secara bertahap dan tanpa selalu tumbuh di luar diskursus teori hukum tradisional yang diterima secara luas. Sebenarnya, perubahan seperti itu sesuai wataknya memerlukan risalah khusus yang perhatiannya hanya untuk memunculkan teori-teori yang berusaha memperkenalkan perubahan-perubahan ini. Teori yang pertama dielaborasi oleh Qarafi dari mazhab Maliki, dan teori yang kedua oleh Tufi dari mazhab Hanbali. Kedua teori itu unik, dan mungkin karena watak revolusionernya hanya memiliki sedikit pengaruh atas konstruksi dari para teoretisi yang lain. dapat diperkirakan bahwa kegagalan dua teori ini untuk mendapatkan landasan dasar dalam konteks abad pertengahan berkaitan dengan perubahan-perubahan dramatis pada supra struktur dan infrastruktur dimana inflementasi kedua teori itu akan diperlukan. Walaupun kedua konstruksi teoretis ini menampilkan bagian-bagian dari ide-ide yang lebih luas, keduanya cukup mengandung prinsip-prinsip fundamental dan aturan-aturan umum untuk menjadi pedoman sebagai garis bimbingan bagi sebuah teori hukum yang komferehensif. Pengetahuan hadits-hadits hukum menggambarkan perbedaan-perbedaan diantara tipe-tipe hadits dalam dua tingkatan. Pertama adalah model dimana sebuah hadits muncul. Kedua adalah epistemologi ; hadts-hadits dibagi-bagi berdasarkan tingkat kemungkinan dan kepastianya, sesuai dengan keadaaan bagaimana hadits itu diriwayatkan. Dengan pemikiran seperti ini, sebuah hadits dapat digunakan untuk kepentingan hukum seperti teks yang lainnya; status epistemologisnya dan kejelasan teksnya (atau kesamarannya) adalah dua pertimbangan penafsiran yang pokok. Bagaimanapun, Qarafi memperkenalkan sebuah tipologi lain mengenai hadits nabi, satu diantaranya memiliki implikasi-implikasi yang jauh. Menurutnya, Nabi berfungsi dalam empat kapasitas : sebagai seorang Nabi, sebagai mufti, sebagai hakim, dan sebagai kepala negara. Setelah wafatnya, para mufti menggantikan posisinya sebagai mufti, para hakim menggantikannya sebagai hakim, dan para khalifah mengantikannya sebagai kepala negara. Jadi, usaha untuk menerapkan konsep dasar mengenai hadits-hadits Nabi ini dalam hukum substansif yang ada telah membawa perubahan besar dalam hukum ini. Hadits yang sebelumnya dianggap mengikat mungkin menjadi kurang mengikat dipandang dari dasar dikeluarkannya hadits tersebut. sebaliknya hadits yang biasanya dipahami sebagai transaksi pribadi mungkin kemudian dianggap sebagai keputusan pengadialan atau sebagai kebijakan negara. Sama pentingnya adalah implikasi pendekatan ini terhadap teori hukum yang berorientasi tekstual. Qarafi memperkenalkan metode nontekstual dan kontekstual dalam menafsirkan Sunnah, sebuah metode yang sangat berlawanan dengan sikap yang lazim dari para tepretisi dalam menafsirkan sumber hukum ini (hadits Nabi). Dalam sejarah teori hukum, konsep Qarafi ini unik, inovatif dan berlaku singkat. Teori maslaha Tufi berlaku sedikit lebih lama. Inti dari teori Tufi adalah supremasi kemaslahatan dan kepentingan umum diantara sumber-sumber hukum. Maslaha didefinisikan sebagai alat untuk mengetahui niat dari Syar’I (Pembuat hukum, Allah) baik melalui ibadah religius dan ritual atau melalui transaksi dunia. Dengankata lain, bagaimana mungkin teori Maslaha dianggap lebih unggul daripada al-Qur’an, Sunnah, dan Ijma’, jika ia hanya didukung oleh hadits ahad yang zhanni itu? Images_26 Tufi memberikan dua jawaban yang saling berkaitan. Pertama, hadits tersebut jika diklasifikasikan memang termasuk hadits ahad, dan hanya meberikan kemungkinan; tetapi hadits itu telah didukung oleh sebuah dalil tekstual lainnya yang menjadikannya kuat (qawiya bil-syawahid). Kedua, semua petunjuk dalam al-Qur’an, Sunnah, dan Ijma’ memperlihatkan kebenaran dan validitas prinsip yang dikandung dalam hadits tersebut. Karena syari’ah telah diberikan kepada keum Muslimin tujuan untuk menjaga kepentingan mereka, maka tidak boleh ada kontradiksi yang sebenarya antara maslaha di satu pihak denga al-Qur’an, Sunnah, dan Ijma’ di pihak lain. Bagaimanapun jika terlihat ada kontradiksi, maka ketentuan maslaha harus dibuat sebagai pengganti sumber-sumber hukum yang lain melalui teori pengecualian (takhsis), bukan dengan mengesampingkan semua sumber hukum itu. Betapapun, tetap jelas bahwa perbedaan antara konsep maslaha disatu puhak dengan semangat dan bahasa hukum sebagaimana dimuat salam al-Qur’an, Sunnah, dan Ijma’ di pihak lain adalah sangat nyata untuk dilewati dengan solusi yang tidak jelas itu. Lebih jauh, Tufi mengemukakan sedikitnya tiga argumen untuk mendukung gagasan bahwa maslaha mengesampingkan Ijma’, juga dua sumber hukum utama lainnya yaitu al-Qur’an dan Sunnah. Argumen pertama, dia tegaskan bahwa para pengkritik ataupun pendukung ijma’ sepakat mengenai posisi central maslaha. Dengan kata lain, maslaha adalah fokus dari kesepakatan bulat, sedangkan ijma’ dan dan kewenangannya tidak disepakati. Kedua, dalil tekstual dalam al-Qur’an, Sunnah dan ijma’ berbeda-beda dan terkadang bertolak belakang, mengakibatkan ketidaksepakatan diantara para fuqaha. Sedangkan maslaha tidak diperselisihkan dan keduanya kondusif untuk menyatukan kaum musolimin, kesatuan yang sering diperintahkan oleh tuhan dalam sejumlah ayat. Ketiga, sejarah telah menunjukkan bahwa sejumlah besar tokoh-tokoh berpengaruh dalam Islam sejak masa shahabat dab seterusnya, mengabaikan dalil tekstual demi keputusan-keputusan dan pandangan-pandangan yang didasarkan atas maslahah. Tufi menegaskan bahwa pada prinsipnya teorinya berlaku sesuai dengan doktrin yang diterima secara luas, yaitu tarjih, dimana sebuah dalil dipilih dari yang lainnya karena ia lebih tinggi dari yang lain. Memang ini adalah salah satu doktrin yang dicapai melalui ijma’. Benar bahwa mengabaikan teks wahyu tanpa alasan tidak diperbolehkan, tetapi mengabaikannya demi dalil tekstual lain yang lebih kuat tidak dilarang. Dan inilah yang dimaksud penerapan maslaha. Dasar dari teori tentang kemaslahatan umum ini terletak pada berlakunya hadits ahad, tetapi satu hadits ahad yang diperkuat oleh beberapa teks dan dasar-dasar yang kurang lebih berarti bahwa tujuan utama syari’ah adalah mencegah kejahatan dan menganjurkan kemaslahatan umum masyarakat. Teori Hukum dan Hukum Substantif Korpus hukum substantif atau hukum positif yang sebenarnya juga termasuk hukum prosedural, terartikulasi dalam pedoman-pedoman standar dan risalah-risalah panjang yang disebut kitab al-furu. Istilah furu’ yang secara bahasa berarti cabang-cabang, secara mengesankan menggambarkan hubungan antara teori hukum dengan hukum substantif. Karya-karya mengenai hukum substantif dimaksudkan untuk memberikan servis penting kepada seorang faqih, baik ia sebagai hakim atau mufti. Sebenarnya, pengetahuan mengenai fatwa sering disejajarkan dengan ilmu hukum substantif karena pemikiran hukum para mufti membentuk sumber utama dimana hukum substantif dan prosedural pertama kali dibangun dan kemudian dielaborasi. Sekalipun peran keputusan-keputusan pengadilan dalam evolusi batang tubuh hukum substantif tidak diremehkan – khusunya sealam masa pembentukan – muftilah yang tampak telah menyediakan sistem hukum secara bertahap, sedikit demi sedikit, dengan kitab hukum yang komprehensif. Jadi, tampak setelah periode pembentukan, batang tubuh hukum substantif dan prosedural pada pada pokoknya diambil dari sumbangan para mufti dan keputusan-keputusan hakim baik yang merupakan sangsi hukum atau yang disediakan sebagai alternatif oleh mufti. Benar bahwa tidak serupa dengan keputusan hakim, pandangan hukum seorang mufti tidak mengiakt, tetapi pandangannya, karena telah diemanasi dari otoritas yang sangat memenuhi syarat, menajdi bagian dari dan memang dianggap sebagai hukum. Hal ini merupakan persepsi umum dalam bidang hukum bahwa keputusan hukum adalah partikular (juz’i) dan dapat diperdebatkan, sedangkan fatwa seorang mufti bersifat unversal (kulli) dan dapat diterapkan kepada semua kasus hukum serupa yang akan muncul kemudian.sebagai peraturan, pendapat seorang mufti didasarkan atas fakta-fakta yang disodorkan kepadanya oleh penanya (sa’il). Jika benar demikian, seorang mufti harus mendapatkan solusi-solusi baru untuk kasus-kasus yang belum terselesaikan dalam madzhabnya, dan untuk kasus yang sudah terselesaikan, dia harus menyampaikan doktrin yang sudah dibangun atau jika lebih dari satu pendapat yang sudah diformulasikan, dia harus mengutamakan satu pendapat atas yang lain. Adalah fungsi teori hukum untuk menyediakan bagi seorang mufti sarana-sarana untuk melaksanakan tugasnya, terutama berkenaan dengan ijtihad dan tarjih. Kedua hal itu menciptakan kebutuhan dibalik teori hukum. Banyak energi para teoretisi dikeluarkan untuk mengelaborasi metode-metode dan formulasi prinsip-prinsip yang akan diberikan kepada mufti dalam wilayah ijtihad dan tarjih. Tetapi sebenarnya teori hukum lebih dari sebuah metodologi pemikiran dan penafsiran hukum, kearena beberapa doktrinnya berfungsi ganda. Disatu pihak doktrin itu memenuhi tujuan langsung yang dikehendaki, dipihak lain ia berperan secara tidak langsung dalam praktik pengadilan. Apa yang digunakan oleh para teoretisi dalam menjelaskan bahasa al-Qur’an dan Sunnah, digunkan juga untuk mendefinisikan bahasa instrumen hukum. Prinsip-prinsip teori hukum yang lain memainkan peran fundamental dalam mengembangkan dan membentuk prakitik hukum. Pemikiran bahwa ijtihad seluruhnya terbatas pada wilayah kemungkinan adalah satu pemikiran bahwa teori hukum dipelihara dan dikembangkan secara hati-hati. Sebenarnya pemikiran ini (ijtihad) adalah bagian penting dalam teori hukum. Tetapi bukan tugas teori ini untuk merinci pemikiran ini dalam lapangan praktik hukum karena hal itu bukan wewenangnya. Dan karena sebuah ijtihad sama nilai kemungkinannya dengan ijtihad yang lain, tidak ada kesimpulan yang dicapai berdasarkan ijtihad dapat menghapus hasil ijtihad yang lain (hal ini diungkapakan dalam kaidah al-ijtihad la yunqad bil ijtihad). Dengan membolehkan tinjauan atau pertimbangan pengadilan berarti membolehkan satu keputusan hukum untuk mencabut keputusan lain yang berasal dari situasi epistemologys yang sama – sebuah proposisi yang secara umum dan kategoris ditolak dalam fikh Sunni dan Syi’ah. Melembagakan tinjauan pengadilan sebagai bagian integral dari praktik pengadilan normative, dalam persepsi para Fuqaha, akan menyebabkan situasi dimana konsistensi dan stabilitas keputusan hukum menjadi rusak. Semua ini sangat sesuai dengan prinsip-prinsip epistemologis yang terdapat dalam bab-bab yang membahas ijtihad dalamkarya-karya teori hukum. Sesuai dengan itu pula, doktrin yang menyatakan tinjauan pengadilan dan penghapusan keputusan hukum yang ada sebagai sesuatu yang valid jika dapat dibuktikan bahwa keputusan itu melanggar nash dan atau ijma’. Sejauh ini kita telah membahas satu sisi dari fungsi ganda teori hukum yaitu pengaruh yang dimilikinya dalam menentukan, mengarahkan dan membentuk doktrin dan praktik pengadilan. Fungsi yang lainnya adalah bahwa apa yang menjadi tujuan dibuatnya teori hukum adalah sampainya pada apa yang dipahami mufti sebagai hukum sebagaimana ada dalam pikiran Tuhan. Dengan dimasukkannya fatwa kedalam peraturan-peraturan hukum substantif standar, lingkaran proses hukum ditutup. Sebuah kasus baru menimbulkan peraturan baru didasarkan atas dalil tekstual, yang merupakan rangkaian prinsip-prinsip hermenetik dan beberapa metode pemikiran. Peraturan itu diterapkan ke dalam kasus yang terjadi dalam situasi yang sangat khusus. Setelah dinilai valid, kasus itu sejalan dengan peraturan tersebut, kemudian di abstraksikan dan dimasukkan ke dalam korpus (kumpulan) hukum substantif yang menjadi referensi (atau perpustakaan) para mufti, karena sudah diakui validitasnya. Kasus baru apapun yang muncul setelah itu pertama kali harus dibandingkan dengan kasus-kasus yang terdapat dalam korpus itu. Jika tidak ada kasus serupa yang mendahuluinya, maka harus dilakukan ijtihad. Tetapi jika sebuah kasus dalam korpus hukum itu terbukti identik atau serupa dengan kasus baru itu, maka mufti harus menerapkan peraturan hukum yang sudah ada itu untuk kasus yang baru. Disinilah konsistensi hukum menjadi dalil penting ; sebuah doktrin hukum yang sudah mapan tidak boleh diabaikan kecuali ada alasan yang tepat untuk itu. Inilah syarat yang ditekankan oleh para teoretisi hukum dan para ahli hukum substantive (furu’).

Tidak ada komentar: