Senin, 13 Agustus 2007

Abu Yazid al-Busthami, Abu Mansur al-Hallaj, Ibn 'Arabi

Oleh : Amas Syaepul Arifin


    1. Abu Yazid al-Busthami adalah sufi yang membawa konsep ittihad dalam tasawuf.

Jelaskan pengertian ittihad secara komprehensif meliputi landasan filosofis ittihad, proses untuk mencapai ittihad, fana dan baqa sebagai pintu gerbang ittihad, pengalaman syathahat, contoh-contoh syathahat, dan kritik Saudara tentang konsep ittihad Abu Yazid al-Busthami

    1. Abu Manshur al-Hallaj adalah sufi yang membawa konsep hulul dalam tasawuf.

Jelaskan pengertian hulul, landasan filosofis hulul, proses untuk mencapai hulul, konsep taraqi dan tanazul dalam hulul, persamaan dan perbedaan hulul kaum Nasrani tentang Nabi Isa dengan pengalaman hulul al-Hallaj, kritik para ulama tentang konsep hulul yang dibawa al-Hallaj, dan sebab-sebab serta analisis saudara tentang tragedi al-Hallaj di tiang gantungan, dan analisis saudara tentang perdebatan ulama tentang corak tasawuf al-Hallaj dihubungkan dengan perjalanan hidupnya.

    1. Ibn ‘Arabi adalah sufi yang mengembangkan faham Wahadat al-Wujud.

Jelaskan konsep wujud menurut para mutakallim dan konsep wujud menurut Ibn ‘Arabi, analisis persamaan dan perbedaannya! Apa yang menjadi landasan filosofis wahdat al-wujud Ibn ‘Arabi? Sebutkan korelasi antara ittihad, hulul dan wahdat al-wujud dalam tasawuf falsafi! Apa implikasi faham ittihad, hulul dan wahdat al-wujud dalam kehidupan seorang Muslim? Sebutkan pula pendapat dan kritik saudara tentang faham wahdat al-wujud !





1. Abu Yazid al-Bustami adalah sufi yang membawa konsep ittihad dalam tasawuf.

Pengertian ittihad dan landasan filosofis ittihad!

Setiap orang akan berbeda dalam mengartikan suatu bahasa atau suatu istilah, begitu pula dengan kata ittihad pasti setiap orang akan menerjemahkan dan mengartikan secara berbeda menurut perspektif masing-masing. Adapun ittihad disini menurut bahasa adalah integrasi, menyatu atau persatuan.[1] Dalam arti bahwa ittihad adalah adanya suatu penyatuan dari seorang atau sesuatu kapada sesuatu yang lain, dalam bahasa yang sederhananya bisa dikatakan bahwa ada dua benda yang bergabung menjadi satu.

Pengertian ittihad secara bahasa diatas, cukup memberikan gambaran kepada kita tentang kata ittihad, akan tetapi berbeda dengan pengertian ittihad dalam istilah Tasawuf Filosofis, yaitu “ittihad merupakan pengalaman puncak spiritual seorang sufi, ketika terasa dekat dengan Allah, bersahabat, cinta, dan mengenal-Nya sedemikian rupa hingga dirinya merasa menyatu dengan Allah”.[2] Jadi bisa kita artikan bahwa ittihad menurut Abu Yazid al-Busthami adalah sebagai pengalaman puncak dari seorang sufi, dimana indicator dari puncaknya itu adalah sampai ketingkat bahwa seorang sufi tersebut merasa melebur atau menyatu bersama Allah.

Proses untuk mencapai ittihad!

Ketika kita menginginkan sesuatu, maka hal itu tidak serta merta kita dapatkan. Harus ada sebuah usaha dan kerja keras yang dilakukan demi mendapatkan apa yang kita harapkan dan inginkan. Ittihad adalah sebuah puncak dan harapan seorang hamba kepada Tuhannya, maka ittihad juga pasti harus didapatkan melalui suatu proses ataupun cara tertentu untuk mendapatkannya.

Menurut Abu Yazid al-Busthami, “Ittihad diperoleh melalui perjuangan menggapai maqamat (tangga-tangga rohani) hingga melewati mahabbah dan ma’rifah kemudian mengalami fana` dan baqa`, yang menjadi gerbang ittihad”.[3] Jadi bisa kita katakan bahwasanya ittihad itu baru bisa kita dapatkan ketika kita menapaki dengan serius satu-persatu tangga-tangga rohani yang akan menyampaikan diri kita kepada puncaknya, yaitu ittihad.

Fana dan Baqa sebagai pintu gerbang ittihad!

Pada proses yang disebutkan oleh Abu Yazid sebagai tangga-tangga rohani (maqamat) untuk mencapai ittihad, maka disana disebutkan bahwasanya Fana dan Baqa adalah sebagai pintu gerbang dari ittihad. Fana dan baqa ini adalah merupakan ciri atau pintu gerbang seorang sufi ketika akan memasuki pengalaman ittihad. Perlu kita ketahui bahwasanya fana dan baqa ini bukanlah sebuah maqamat yang harus dilalui oleh seorang sufi dalam pencariannya. Melainkan sebagai ahwal atau suatu keadaan dimana fana dan baqa tersebut datang dan pergi atau ada dan tidak ada semata-mata hanya karena Allah swt.

Dalam pengertiannya, fana` secara kebahasaan berarti hancur, lenyap dan hilang; dan baqa` berarti tetap, kekal dan abadi.[4] Dalam Tasawuf fana dan baqa ini datang secara bersamaan, ketika kesadaran diri dan lingkungan seorang sufi hancur dan lenyap maka pada saat itu seorang sufi merasa kekal dan menyatu dengan Allah swt. Lebih jelasnya Dalam tasawuf fana` dan baqa` berarti: فناء الصوفى عن نفسه وبقائه مع الله ( Lenyapnya kesadaran seorang sufi tentang dirinya, karena merasa tetap bersama Allah.) atau bisa kita katakan bahwasanya arti dari fana` mengacu kepada pengalaman spiritual seorang sufi ketika kesadaran ia tentang diri dan lingkungannya lenyap dan hilang. Sedangkan baqa` adalah keadaan spiritual se-orang sufi, ketika hijab antara dirinya dan Allah terasingkap (mukasyafah), menyaksikan keagungan Allah (musyahadah), mengenal-Nya secara langsung (ma’rifah), lalu terpesona oleh keindahan wajah Allah hingga merasa kekal bersama-Nya.[5] Itulah sebabnya kenapa fana dan baqa disebut sebagai gerbang dari ittihad, karena keadaan itu adalah suatu tanda atau ciri dari rahmat serta karunia Allah atas kesediaannya untuk Mukasyafah (penyingkapan) kepada hambanya.

Pengalaman syathahat!

Secara kebahasan perkatan atau kata syathahat berasal dari kata kerja "syathaha" yang berarti taharraka, yakni gerak atau tergerak. Jadi menurut bahasa syatahat bisa diartikan dengan suatu gerak atau suatu benda yang bergerak. Sedangkan dalam bahasa arab syatahat bisa diartikan dengan :

إن الشطح فى لغة العرب هو الحركة لأنها حركة أسرار الواجدين إذا قوي وجدهم فعبروا عن وجدهم ذلك بعبارة بستغرب سامعها

"Syathahat dalam bahasa Arab berarti gerak, yakni gerak yang bersumber dari perasaan, ketika menjadi kuat dan meluap, lalu melahirkan ungkapan yang terasa asing kedengarannya".[6]

Jadi dalam bahasa arab bisa kita artikan dengan adanya sesuatu yang menggerakkan dari dalam diri, dan gerakan itu semakin kuat maka kemudian tidak bisa ditahan dan meluap keluar dengan mengeluarkan sebuah ungkapan, dan biasanya ungkapan-ungkapan itu terasa asing didengar atau tidak seperti ungkapan biasanya.

Menurut kaum sufi syathahat adalah ungkapan perasaan para sufi yang bergelora, ketika pertama kali memasuki gerbang ilahi.[7] Selain itu Prof DR Abdurrahman Badawi mengatakan bahwasanya ada beberapa kondisi emosi dan spiritual para sufi yang bisa mendorong kepada pengalaman syathahat[8], diantaranya :

(1) Emosi dan spiritual yang sangat begejolak.

(2) Pengalaman puncak spiritual yang dorong ittihad.

(3) Sufi yang mengalami syathahat dalam keadaan sakr (mabuk).

(4) Di dalam lubuk jiwanya mendengar pesan ilahi untuk ittihad.

(5) Semuanya berjalan dengan keadaan seorang Sufi yang tidak menyadari perasaannya.

Selain pengertian diatas, menurut al-Sarraj syatahat adalah suatu keadaan ketika seorang sufi mengeluarkan ucapan yang lahir dari perasaan yang sedang meluap. Hal ini tidak dinilai secara lahir. Sufi demikian tidak dalam keadaan mukallaf, oleh karenanya ia berada di luar hukum taklifi yang berlaku umum.[9] Dari beberapa uraian diatas, maka kita bisa menguraikan bahwasanya pengalaman syatahat yang terjadi pada seorang sufi yang mengakibatkan pengungkapan suatu ungkapan yang mungkin terdengar asing oleh kaum awam bukanlah ungkapan seorang sufi. Akan tetapi suara dari Ilahi melalui lisan seorang sufi.

Contoh-contoh syathahat!

Sebagai seorang sufi, Abu Yazid yang mengembangkan paham ittihad ini telah mengalami beberapa pengalaman syatahat yang ia sampaikan sendiri kepada muridnya. Ungkapan-ungkapan syatahat yang disampaikan oleh Abu Yazid terbagi kepada beberapa bagian, hal ini terjadi karena setiap ungkapan yang disampaikan berbeda maqam atau tingkatannya. Diantaranya sebagai berikut :

Yang Petama, adalah ungkapan ketika beliau sedang mengalami Fana dan Baqa :

أعرفه بي حتى فنيت ثم عرفته به فحييت

"Aku kenal Dia (Tuhan) melalui diriku hingga aku hancur, kemudian aku kenal Dia melalui diri-Nya maka aku pun hidup".[10]

جننى بى فمت ثم جننى به فعشت فقلت الجنون بي فناء والجنون بك بقاء

"Dia membuat aku gila pada diriku sehingga aku mati. Kemudian Dia menjadikan aku gila pada-Nya dan aku pun hidup. Aku berkata: “Gila pada diriku adalah kehancuran (fana`) dan gila pada-Mu adalah kelanjutan hidup (baqa`)"[11] Pada ungkapan ini masih ada jiwa hamba dalam diri AbuYazid karena beliau baru masuk ke dalam pintu gerbang menuju syatahat.

Kemudian yang kedua, yaitu ketika beliau berada pada detik-detik mengalami ittihad[12] :

رفعت مرة حتى أقمت بين يديه, فقال لي يا أبا يزيد إن خلقي يريدون أن يروك. فقلت يا عزيزي لا أحب أن أراهم. فإن أحببت ذلك مني فإني لا أقدر أن أخالفك فزيني بوحدانيتك حتى إذا رانى خلقك قالوا رأيناك فتكون أنت ذاك ولا أكون انا هناك

Kemudian keempat, ketika Abu Yazid mengalami ittihad[13] :

"Abu Yazid berkata sesungguhnya mereka semuanya adalah ciptaan-Ku bukanlah bukanlah selain-Ku, maka sesungguhnya kamu adalah aku dan aku adalah kamu dan aku adalah kamu".

"Maka telah terputus penghalang, maka menjadi satu kalimat dan segala sesuatu menjadi satu. Maka berkata kepadaku wahai kamu, maka aku berkata dengannya wahai aku, maka dia berkata kepadaku kamu sendiri, aku berkata aku sendiri. Dia berkata kepadaku kamu adalah kamu, dan aku berkata aku adalah aku."

"Maha suci aku, maha suci aku, maha suci aku, tidak ada yang lebih mulia selain aku".

"Datang seorang pemuda ke rumah Abu Yazid, maka dia mengetuk pintu dan berkata "siapa yang ada dirumah?" maka Abu Yazid menjawab 'tidak ada seorangpun dirumah kecuali Allah 'ajja wajalla".

"Tidak ada dalam jubahku ini kecuali Allah".

Itulah beberapa contoh syatahat yang dialami oleh Abu Yazid ketika ia mengalami atau terbuai dalam ittihad bersama Allah swt.

Kritik tentang konsep ittihad Abu Yazid al-Bustami!

Konsep ittihad yang disampaikan oleh Abu Yazid yang adanya keharusan untuk berusaha membersihkan hati dan menyucikan jiwa, untuk mencapai integrasi atau kesatuan dengan Allah. Konsep ini mengindikasikan adanya penapian akan tanajul atau rahmat dari Allah swt, konsep ini mengatakan bahwasanya kita bisa berjumpa dengan Allah semata-semata karena usaha kita sendiri tanpa adanya rahmat dan kasih sayang dari Allah swt. Kemudian tentang adanya fana dan baqa yang digambarkan sebagai pintu gerbang untuk menuju ittihad itu seakan-akan kta bisa memperkirakan kondisi kita dan menguasai maqam yang kita jalani pada saat itu dan kita seakan-akan mengetahui kondisi kegaiban yang terjadi pada kita. Padahal tidak semua kondisi maqam yang kita jalani bisa kita tentukan dan kita rasakan secara sadar.

2. Abu Manshur al-Hallaj adalah sufi yang membawa konsep hulul dalam tasawuf.

Pengertian hulul dan landasan filosofis hulul!

Hulul secara bahasa berarti stopping, putting up, staying; decending, coming on, befalling, overtaking, incarnation, setting in, advent, arrival, dawn; substitution[14]. Atau dalam bahasa indonesianya bisa diartikan dengan diam, bergabung, bersama, dating, masuk, dan berada dalam atau berintregasi. Sedangkan menurut al-Sirraj istilah hulul mengandung pengertian bahwa Tuhan memilih tubuh-tubuh manusia tertentu untuk ia tempati setelah sifat-sifat kemanusiaan dalam tubuh itu dilenyapkan[15].

Dalam tasawuf filosofis hulul adalah pengalaman spiritual seorang sufi, ketika kondisi jiwa yang bersih dan demikan dekat dengan Allah, lalu Allah memilih sufi tersebut, kemudian menempati dan menjelma padanya[16]. Dari pandangan filosofis dan menurut al-Sirraj diatas, maka secara sederhana kita bisa mengambil kesimpulan bahwasanya hulul adalah suatu kondisi dimana seorang sufi mencapai puncak ketersingkapan bersama Alllah swt. Seorang sufi tersebut membersihkan dirinya dari kekotoran dan keduniaan, dalam kekosongannya tersebut kemudian Allah menempati tubuhnya dan menjelma dalam tubuh seorang sufi tersebut.

Proses untuk mencapai hulul!

Dalam mendapatkan pangalaman hulul, seorang sufi harus melalui tahap atau maqam untuk sampai kepada pengalaman tersebut. Akan tetapi al-Hallaj menyampaikan dua cara atau proses untuk mencapai pengalaman hulul. Yaitu dengan Tazkiyat al-nafs (penyucian jiwa) adalah salah satu langkah untuk membersihkan jiwa kemudian melalui tahapan maqamat hingga merasakan kedekatan dengan Allah dan mengalami fana `an nafsihi. Dan yang kedua, yaitu Out put dari tazkiyat al-nafs. Dan out put itu adalah indikasi bahwa ruh atau lahut seorang sufi menjadi bening, bersih, suci, sehingga bisa menerima hulul dari nasut Allah swt[17].

Konsep taraqi dan tanazul dalam hulul!

Taraqi menurut bahasa artinya adalah menaiki atau naik. Sedangkan dalam Tasawuf taraqi berarti usaha seseorang dalam mendekatkan diri kepada Allah swt. Dimana seorang sufi melalui maqam-maqam yang harus dilalui tergantung kepada ajaran yang ia tempuh. Sedangkan tanajul menurut bahasa adalah turun. Dalam tasawuf turun ini dimaknai dengan turunnya Alllah swt kepada tubuh tertentu ketika tubuh itu telah sempurna dalam melakukan usaha-usaha penyucian diri atau ketika jiwa itu telah suci. Kemudian Allah mendiami tubuhnya dan menjelma dalam tubuh tersebut. Akan tetapi kejadian ini hanya sementara tidak selamanya.

Perlu diketahui bahwasanya penyatuan atau hulul itu bukan antara ruh manusia dengan ruh Allah. Akan tetapi antara nasut Allah dengan lahut makhluk, karena menurut para sufi Allah itu memiliki sifat lahut dan sifat nasut. Begitu pula dengan manusia yang mempunyai sifat lahut dan sifat nasut.

Persamaan dan perbedaan hulul kaum Nasrani tentang Nabi Isa dengan pengalaman hulul al-Hallaj!

Persamaan konsep hulul antara al-Hallaj dengan nabi Isa adalah mereka sama-sama mempercayai bahwa antara Ruh manusia denga sifat nasut Allah bisa bersatu, dan Allah bisa menjelma didalam tubuh manusia. Tidak bisa dielakkan juga bahwasanya al-Hallaj mengambil konsep hulul ini kepada kaum Nashrani.

Walaupun al-Hallaj mengambil konsep hulul kepada kaum Nashrani, akan tetapi ada perbedaan yang sangat fundamental antara keduanya. Pada kepercayaan kaum Nashrani, mereka berpendapat bahwasanya Allah telah mengambil tubuh nabi Isa dan menjelma dalam tubuhnya sehingga hilang sifat kemanusiaan dari nabi Isa dan Isa menjadi Tuhan. Dan sifat hulul pada ajaran Nashrani itu menyatakan bahwasanya hulul-nya Tuhan dalam tubuh nabi Isa bersifat tetap dan permanen untuk selamanya. Berbeda dengan hulul-nya al-Hallaj, pada hulul-nya al-Hallaj tidak menghilangkan sifat kemanusiaan al-Hallaj dan sifat kemanusiaannya itu tetap ada ketika dia tidak sedang mengalami hulul. Dan sifat hulul-nya tidak permanen hanya sementara saja dan itu pun dalam waktu yang singkat. Adapun dia mengaku sebagai Tuhan itu karena ungkapan-ungkapan yang keluar ketika al-Hallaj mengalami hulul, atau biasa disebut dengan syatahat.

Kritik para ulama tentang konsep hulul yang dibawa al-Hallaj!

Para Ulama berbeda pendapat dengan apa yang disampaikan oleh al-Hallaj, mereka menganggap kafir kepada al-Hallaj karena berkata “akulah kebenaran” ketika ia sedang mengalami hulul dan mengeluarkan ungkapan syatahat. Hal itu terjadi karena para Ulama tidak sependapat dengan al-Hallaj tentang konsep hulul, yaitu mereka tidak menyetujui konsep itu karena menurut para Ulama Manusia tidak mungkin bisa bersatu dengan Allah atau Allah tidak mungkin menempati manusia.

Selain itu juga mereka menganggap bid’ah tentang konsep tersebut, karena al-Hallaj mengambil konsep tersebut dari kaum Nashrani atau dari konsep Isa as.

Sebab-sebab serta analisis tentang tragedi al-Hallaj di tiang gantungan!

Banyak sekali sebab-sebab yang disampaikan tentang kematian al-Hallaj, diantaranya ada yang menyebutkan bahwa kematian al-Hallaj itu dikarenakan Memiliki hubungan politik dengan kaum Qaramithah, gerakan bawah tanah yang hendak menggulingkan pemerintah Abbasiyyah[18]. Alasan ini lebih bersifat politis, karena pada waktu itu kaum Qaramithah adalah salah satu pemberontak yang sangat gencar dalam memerangi bani Abbasiyyah. Kemudian alasan selanjutnya yang menyebabkan al-Hallaj berada di tiang gantungan yaitu Keyakinan Al-Hallaj yang mengaku diri-nya Tuhan, ketika mengalami syathahat[19]. Alasan yang dikeluarkan ini karena para Ulama tidak setuju dengan konsep hulul yang disampaikan oleh al-Hallaj. Jadi ketika ada ungkapan “saya kebenaran” maka hal itu menurut para ulama sudah melanggar hukum Islam dan menganggap kafir kepada al-Hallaj karena sudah mengaku sebagai Tuhan.

Keyakinan Al-Hallaj bahwa ibadah haji bukanlah kewajiban agama yang penting[20]. Ungkapan al-Hallaj ini tentu saja membuat para ulama marah, karena Ibadah Haji menurut para Ulama adalah salah satu Ibadah yang penting dalam Islam. Selain alasan-alasan yang disebut diatas, ada juga yang mengatakan bahwasanya ketika beliau berjalan di jalan-jalan kota Baghdad, dipasar, dan di masjid-masjid, dan kemudian berbicara aneh, yaitu : "Wahai kaum muslimin, bantulah aku! Selamatkan aku dari Allah! Wahai manusia, Allah telah menghalalkanmu untuk menumpahkan darahku, bunuhlah aku, kalian semua bakal memperoleh pahala, dan aku akan datang dengan suka rela. Aku ingin si terkutuk ini (menunjuk pada dirinya sendiri) dibunuh." Kemudian, al-Hallaj berpaling pada Allah seraya berseru, "Ampunilah mereka, tapi hukumlah aku atas dosa-dosa mereka[21]."

Dari perkataan diatas secara tidak disadari menyebabkan kesadaran masyarakat akan ketertindasannya di bawah kekhalifahan Abbasiyyah, dan menyebabkan banyaknya pemberontakan pada waktu itu. Karena hal ini, maka pemerintah menahan beliau kurang lebih selama 9 tahun sampai dia dijatuhi hukuman mati oleh pengadilan.

Dari beberapa alasan-alasan diatas, maka kita bisa lihat bahwasanya kematian al-Hallaj lebih banyak dimotifasi karena alasan politik yang muncul karena kesadaran dia terhadap keadilan dan kesejahteraan rakyat. Akan tetapi jika alasan kematian al-Hallaj dikarenakan alasan dari para Ulama, maka sangat disayangkan sekali karena masih ada otoriterisme di dalam beragama. Dan hal ini mengindikasikan bahwa tidak ada kebebasan dalam beragama dan tidak menerima keanekaragaman yang ada di dunia Islam.

Analisis tentang perdebatan ulama tentang corak tasawuf al-Hallaj dihubungkan dengan perjalanan hidupnya!

Penolakan para Ulama terhadap konsep hulul yang disampaikan oleh al-Hallaj dan corak tasawufnya yang bersifat inklusif tidak bisa dipisahkan dari perjalanan hidup al-Hallaj. Penolakan yang disampaikan lebih dikarenakan karena al-Hallaj mengambil konsep hulul dari agama Kristiani atau kaum Nashrani dan mencari kebenaran tidak hanya di dunia Islam akan tetapi diluar agama Islam juga dia mencari kebenaran. Mungkin ini adalah alasan dimana para Ulama tidak setuju dengan konsep tersebut dan kekhawatiran mereka terhadap kepercayaan al-Hallaj tentang Islam karena mungkin pemikiran dia terkontaminasi oleh ajaran-ajaran selain Islam dan ditakutkan dapat menghancurkan akidah dan kepercayaan umat Islam.

3. Ibn ‘Arabi adalah sufi yang mengembangkan faham Wahdat al-Wujud.

Konsep wujud menurut para mutakallim dan konsep wujud menurut Ibn ‘Arabi!

Konsep wujud menurut mutakallimin adalah bahwa wujud itu terbagi dua, yaitu wujud hakiki atau absolut dan wujud ini dinisbatkan kepada Allah swt. Dalam artian bahwa Allah mempunyai wujud yang absolute dan wujud yang kekal. Dan yang kedua adalah wujud yang tidak hakiki atau tidak kekal dan wujud ini dinisbatkan kepada alam, dengan kata lain bahwasanya alam juga mempunyai wujud, akan tetapi wujudnya tidak kekal dan akan hancur.

Disisi lain konsep yang disampaikan oleh Ibnu ‘Arabi yaitu konsep wujud yang dipandang dari segi hakikat, dan ia menyatakkan bahwa dari segi hakikat wujud itu hanya ada satu yaitu wujud Allah swt. Wujud yang absolut dan kekal sedangkan wujud alam adalah wujud yang nisbi dan hanya cermin dari wujud Allah. Alam tidak mempunyai wujud karena wujud alam adalah cermin dari wujud Allah dan tergantung kepada Allah. Jika wujud Allah tidak ada maka wujud alam tidak ada akan tetapi jika wujud alam tidak ada bukan berarti wujud Allah tidak ada.

Persamaan dan perbedaannya!

Persamaan antara konsep wujud antara para mutakallimin dengan ‘Ibnu ‘Arabi yaitu kedua-duanya sama-sama mengatakan dan mempercayai bahwa Allah mempunyai wujud dan wujud Allah itu bersifat hakiki dan absolute tidak akan hancur dan akan kekal selama-lamanya. Sedangkan perbedaannya adalah bahwa mutakallimin memandang wujud dari segi teologis dan Ibnu ‘Arabi melihat wujud dari segi hakikat. Mutakallimin mempercayai bahwasanya alam mempunyai wujud walaupun wujudnya itu tidak akan kekal, sedangkan Ibnu ‘Arabi mengatakan bahwasanya alam tidak mempunyai wujud karena wujud alam yang ada sekarang ini hanyalah cermin dari Allah swt.

Apa yang menjadi landasan filosofis wahdat al-wujud Ibn ‘Arabi?

Landasan filosofis yang mendasari Wahdat al-Wujud adalah Wahdat al-Wujud difahami bahwa Tuhan tercermin pada alam dan alam cermin Tuhan[22]. Dengan pengertian bahwasanya al-Haqq, Tuhan Yang Maha Benar, ber-tajalli. Alam ciptaan Allah (al-Khalq) adalah tempat tajalli Tuhan (مظهر إلهي). Tempat yang menjadi tajalli-nya Tuhan atau al-Khalq tidak memiliki wujud hakiki, ia tergantung kepada al-Haqq, wujud yang mutlak atau wujud yang absolut.

Dalam menerangkan konsep Wahdat al-Wujudnya dia mengatakan : “ketahuilah bahwa wujud ini satu namun Dia memiliki penampakan yang disebut dengan alam dan ketersembunyiannya yang dikenal dengan asma (nama-nama), dan memiliki pemisah yang disebut dengan barzakh yang menghimpun dan memisahkan antara batin dan lahir itulah yang dikenal dengan Insan Kamil[23]”. Dari uraian diatas, maka kita bisa melihat bahwasanya tidak ada yang mempunyai wujud kecuali Allah swt. Dan wujud alam yang ada hanyalah wujud pinjaman dari Allah swt.

Sebutkan korelasi antara ittihad, hulul dan wahdat al-wujud dalam tasawuf falsafi!

Korelasi antara konsep ittihad yang disampaikan oleh Abu Yazid, hulul oleh al-Hallaj, dan wahdat al-Wujud oleh Ibnu ‘Arabi adalah bahwasanya mereka sama-sama mempercayai bahwa tentang adanya kesatuan antara wujud nasut tuhan dengan wujud lahut manusia. Dan mereka mempercayai bahwasanya adanya kesatuan itu mutlak ada dan terjadi. Walaupun konsep yang mereka ajukan berbeda, akan tetapi tujuan dari mereka adalah sama yaitu berjumpa dengan Allah swt. Ketika Abu Yazid mengatakan bahwasanya seorang sufi harus berusaha untuk mendapatkan ittihad dengan Allah maka hal ini tidak serta merta diambil oleh sufi yang lainnya. Akan tetapi kepercayaan akan berjumpa Allah itu sangat mereka percayai. Dan mereka tidak puas dengan konsep yang ada atau yang disampaikan oleh sufi sebelumnya, karena mereka menganggap kurang sempurna. Kemudian para sufi membuat konsep yang mereka anggap meneruskan konsep yang sebelumnya demi kesempurnaan konsep yang mereka ajukan. Jadi antara satu konsep dengan konsep yang lainnya itu adalah kesinambungan dari konsep yang sebelumnya yang dianggap kurang sempurna.

Apa implikasi faham ittihad, hulul dan wahdat al-wujud dalam kehidupan seorang Muslim?

Implikasi dari adanya faham yang disampaikan oleh para sufi, yaitu kita bisa mengetahui bahwa dalam memandang suatu hal itu tidak dipandang secara lahiriah saja akan tetapi secara ruhaniah juga. Ketika kita mempercayai akan kesatuan dengan sang pencipta, maka kita akan lebih peka dan hati-hati terhadap segala kehidupan duniawi. Dengan kepekaannya itu menjadikan sekelompok atau seorang muslim bisa lebih peka terhadap kondisi sosial yang terjadi disekitarnya.

Dengan faham ini pula seorang muslim harus menyadari bahwasanya kita bisa menemui Tuhan sebelum waktu yang telah ditentukan oleh Allah swt, dan menambah keyakinan kepada seorang muslim yang mempercayainya.

Pendapat dan kritik tentang faham wahdat al-wujud !

Faham wahdat al-wujud yang disampaikan oleh Ibnu ‘Arabi adalah faham yang disampaikan dengan pandangan hakikat dan bukan pandangan teologis, jadi ketika pandangan faham itu disampaikan dalam keadaan seseorang dalam pandangan teologis maka akan mengakibatkan pandangan yang salah terhadap faham ini. Akan tetapi ketika ada batas pembeda antara faham teologis dan faham hakikat maka faham ini bisa diterima. Faham ini juga saya rasa sangat baik ketika kita memahaminya lewat pandangan hakikat, dan faham ini pula yang lebih menegaskan ke-Esaan Allah dengan cukup baik karena tidak ada sesuatupun kecuali Allah. Akan tetapi setiap faham yang disampaikan harus dimengerti dahulu ketika apakah hal itu bersifat lahiriah atau batiniah, tergantung kepada seseorang yang menyampaikan fahamnya dan kondisi sosial masyarakat di zamannya.

Wallahu a’lam.


Bahan Bacaan :

http://www.sufinews.com/print.php?id=1107934028&archive= , Kamis, 31 MEI 2007, 20 : 21

http://media.isnet.org/islam/Paramadina/Konteks/TasawufHN4.html, Minggu, 3 juni 2007, 16:59

http://id.wikipedia.org/wiki/Wihdatul_wujud, Minggu, 03 juni 2007, 17:02

http://id.wikipedia.org/wiki/Al-Hallaj, Minggu, 03 juni 2007, 17:09

Ismail, Asep Usman “catatan harian mata kuliah Tasawuf”.2006. Jakarta : Universitas Paramadina.

Sukardi. “Kuliah-Kuliah Tasawuf”. 2000. Bandung : Pustaka Hidayah.



[1] Ismail, Asep Usman “catatan harian mata kuliah Tasawuf”, Jakarta : Universitas Paramadina.

[2] Ibid

[3] Ibid

[4] Ibid

[5] Ibid

[6] Ibid

[7] Ibid

[8] Ibid

[9] http://www.sufinews.com/print.php?id=1107934028&archive= 31 Mei 2007, 20 : 21

[10] Ismail, Asep Usman “catatan harian mata kuliah Tasawuf”, Jakarta : Universitas Paramadina

[11] Ibid

[12] Ibid

[13] Ibid

[14] Ibid

[15] http://www.sufinews.com/print.php?id=1107934028&archive= 31 Mei 2007, 20 : 21

[16] Ismail, Asep Usman “catatan harian mata kuliah Tasawuf”, Jakarta : Universitas Paramadina

[17] Ibid

[18] Ibid

[19] Ibid

[20] Ibid

[21] http://id.wikipedia.org/wiki/Al-Hallaj ahad 03 juni 2007 17:09

[22] Ismail, Asep Usman “catatan harian mata kuliah Tasawuf”, Jakarta : Universitas Paramadina

[23]"http://id.wikipedia.org/wiki/Wihdatul_wujud" ahad 03 juni 2007 17:02

Tidak ada komentar: