Rabu, 15 Agustus 2007

Zaid Bin Ali Zainal Abidin


Oleh : Amas Syaepul Arifin
Zaid bin Ali Zainal Abidin bin Husein bin Ali Ra (80-122 H./ 658–740 M.), adalah putra dari Imam Syi'ah ke-4, yaitu Ali Zainal Abidin, dan cucu dari Husain bin Ali. Kehidupannya sering berpindah-pindah antara Syam dan Irak. Pertama bertujuan mancari Ilmu dan kedua mencari Hak Ahlul Bait dalam Imamah (kepemimpinan). Beliau dikenal sebagai orang yang sangat bertaqwa, wara', ‘alim, fadhil, ikhlas dan berani. Selain rupanya tampan, gagah, takut kepada Allah dan aktif menekuni Kitabullah dan Sunnah Rasul- Nya, Beliau juga belajar ilmu dan riwayat kepada kakak sulungnya, Muhammad al-Baqir yang dipandang sebagai salah seorang Imam 12 menurut Syi'ah Imamiyah.

Beliau punya hubungan baik dengan Washil bin Atha, pemimpin Mu'tazilah dan sekaligus menjadi muridnya. Karena itu ia banyak terpengaruh oleh kepribadian Washil bin Atha dan pemikiran-pemikirannya yang sebagiannya ditransfer ke dalam pemikiran Zaidiyah. Abu Hanifah al-Nu'man adalah murid dari Zaid bin Ali dan banyak menimba ilmu darinya.
Karya-karyanya yang terkenal antara lain Al-Majmu' al-Kabir, sebuah kitab yang berisi kumpulan hadits dan fiqh. Keduanya diriwayatkan oleh muridnya yang bernama Abu Khalid Umar bin Khalid al-Wasithi al-Hasyimi yang dikenal sangat setia kepada beliau. Ia wafat pada perempat ketiga abad ke 20 Hijriyah.

Puteranya yang bernama Yahya bin Zaid pernah bertempur bersama ayahnya, dan ia sempat melarikan diri ke Khurasan. Tetapi nasibnya tidak begitu beruntung karena Ia pun dibunuh oleh tentara Umawiyyah di negeri itu pada tahun 125 H. Sepeninggal Yahya, segala urusan diserahkan kepada Muhammad dan Ibrahim. Muhammad keluar dari Madinah dan dibunuh oleh Isa bin Mahan, seorang pegawai di kota itu. Sedangkan Ibrahim keluar ke Bashrah dan ia terbunuh atas perintah al-Manshur. Ahmad bin Isa bin Zaid, cucu Zaid, tinggal di Irak dan belajar kepada murid-murid Imam Abu Hanifah. Ia adalah salah seorang yang terpengaruh dengan madzhab Zaidiah ini dan aktif mengembangkannya.

Zaid memimpin pemberontakan melawan Bani Umayyah pada pertengahan abad ke-8, hal ini menambah kekerasan yang selalu terjadi antara Bani Umayyah dan Bani Hasyim. Zaid meninggal pada pertempuran tahun 740, dan dimakamkan di Karak, Yordania. Setelah meninggalnya, sebagian pihak merasa bahwa ia merupakan pengganti yang berhak atas keimaman dari ayahnya, ketimbang saudara tirinya, Muhammad al-Baqir. Mereka yang percaya akan keimamannya kemudian mendirikan sekte tersendiri dari Syi'ah yaitu Syi’ah Zaidiyah.

Zaidiyah adalah salah satu sekte Syi'ah yang paling dekat dengan Ahlu Sunnah wal Jama'ah. Sekte ini tergolong moderat, tidak exstrim dan tidak berlebih-lebihan. Syi’ah Zaidiyah in mempunyai teori politik dan pemerintahan Syi'ah tersendiri. Dan urutan imam Syi’ah Zaidiyah yaitu :

Ali bin Abi Thalib (600–661 M.), juga dikenal dengan Amirul Mukminin.
Hasan bin Ali (625–669 M.), juga dikenal dengan Hasan al-Mujtaba.
Husain bin Ali (626–680 M.), juga dikenal dengan Husain as-Syahid.
Ali bin Husain (658–713 M.), juga dikenal dengan Ali Zainal Abidin.
Zaid bin Ali (658–740 M.), juga dikenal dengan Zaid bin Ali as-Syahid.
Syahadah Zaid bin Ali

Al-Syirazi : Apakah Anda tidak pernah mempelajari sejarah Umawiyyah yang dipenuhi oleh berbagai jenis kezaliman dan kekejaman? Semenjak dinasti terkutuk ini berkuasa, mereka telah tega menindas kaum Muslimin. Jenis kezaliman apa yang belum pernah mereka perbuat, darah jenis apa yang belum pernah mereka kucurkan dan kehormatan siapa yang belum pernah mereka langgar?! Mereka tidak pernah mengindahkan segala undang-undang Islam. Dengan rasa malu yang sangat, para ulama telah mencatat semua jenis penindasan dan kezaliman yang pernah mereka lakukan. Allamah Al-Maqrizi Abul Abbas Ahmad bin Ali Asy-Syafi’i, salah seorang ulama besar mencatat kekejaman dan penindasan mereka secara terperinci di dalam bukunya “An-Nizā wat Takhāshum fīmā baina Bani Hasyim wa Bani Umaiyah”. Mereka tidak mengenal orang yang sudah mati atau masih hidup.

Sebagai contoh atas kezaliman yang pernah mereka lakukan, disini akan diceritakan dua peristiwa besar yang dapat menggambarkan kekejaman mereka. Dua peristiwa itu adalah syahadah Zaid bin Ali bin Husein bin Ali as dan putra beliau, Yahya. Para ahli sejarah dari pihak Ahlussunnah dan Syi’ah mencatat bahwa ketika Hisyam bin Abdul Malik, seorang sosok yang keras hati dan tempramental menjadi khalifah, ia telah melakukan banyak kezaliman dan penindasan, khususnya atas Bani Hasyim dan para pengikut mereka. Suatu hari Zaid, putra Imam Ali Zainal Abidin yang terkenal dengan ilmu, wara’, zuhud dan takwa pergi menghadap Khalifah untuk menyampaikan penderitaan Bani Hasyim. Beliau bertemu dengannya di Rashafah. Sebelum beliau mengutarakan tujuan kedatangannya, yang semestinya kedatangan beliau disambut sebagai keturunan Rasulullah SAW, Hisyam malahan memaki-maki beliau dengan sangat kasar.

Menurut versi Imam Mas’udi dalam “Murūjudz Dzahabnya jilid 2 hal. 181, Allamah Al-Maqrizi dalam “An-Nizā’ baina Bani Hasyim wa Bani Umaiyah”-nya dan Ibnu Abil Hadid Al-Mu’tazili dalam “Syarah Nahjul Balāghah”-nya, dikarenakan oleh penghinaan, pukulan-pukulan yang diterimanya dan pengusirannya dari istana, Zaid bin Ali meninggalkan Syiria menuju Kufah, dan dengan tujuan membumihanguskan kezaliman Bani Umawiyyah beliau membentuk sebuah gerakan yang siap melawan mereka. Yusuf bin Umar Ats-Tsaqafi, Gubernur Kufah kala itu keluar dengan pasukan yang besar untuk menghadapai beliau. Beliaupun melawan mereka dengan keberanian yang luar biasa seraya mengumandangkan syair yang berbunyi :
Apakah hidup hina dan mati terhormat?,
keduanya adalah makanan yang pahit,
Jika salah satunya harus kupilih,
pilihanku kematian terhormat.
Dalam pertempuran yang tidak seimbang antara Zaid dan Umayah, tiba-tiba sebatang anak panah menancap di dahi beliau dan seketika itu juga beliau meneguk cawan syahadah. Yahya, putra beliau mengambil jasad berlumuran itu dari tengah medan pertempuran dan membumikannya jauh di pinggir kota di tepi sungai secara sembunyi-sembunyi. Setelah acara penguburan selesai, mereka mengalirkan air sungai itu di atas pusara supaya pusara itu tidak diketahui oleh para musuh. Akan tetapi, mata-mata mereka berhasil mengetahui letak kuburan beliau dan memberitahukan hal itu kepada Yusuf bin Umar. Ia memerintahkan supaya kuburan itu dibongkar. Jasad beliau dikeluarkan dari kuburan tersebut lalu kepalanya dipotong dan kemudian dikirimkan kepada Hisyam di Syiria. Hisyam memberikan instruksi kepada Yusuf bin Umar melalui sepucuk surat supaya Zaid bin Ali digantung dalam keadaan telanjang. Ia melakukan instruksi tersebut dan pada bulan Shafar 121 H. jasad beliau digantung dalam keadaan telanjang. Selama empat tahun jasad beliau berada di tiang gantungan. Ketika Walid bin Yazid bin Abdul Malik bin Marwan menjadi khalifah pada tahun 126 H., ia memerintahkan supaya tulang-belulang beliau diturunkan lalu dibakar, dan debunya ditaburkan di udara.
Referensi
http://id.wikipedia.org/wiki/Imamah senin, senin, 07-05-2007, 11:13
http://id.wikipedia.org/wiki/Zaid_bin_Ali, senin, 07-05-2007, 10:47
http://wiki.myquran.org/index.php/Syi'ah, senin, 07-05-2007, 10:52
http://www.al-shia.com/html/id/shia/Syi'ah-pishavar/05.htm, senin, 07-05-2007, 11 : 25
http://www.alahkam.net/home/index.phpmodule=subjects&func=printpage&pageid=101&scope=page , senin, 07-05-2007, 11:40


Tidak ada komentar: