Senin, 13 Agustus 2007

Masa Depan Falsafah Islam

Oleh : Amas Syaepul Arifin

Pendahuluan

Pada dasarnya kita tidak akan pernah bisa dan mampu untuk menentukan dan mengetahui apa yang akan terjadi kepada kita, apalagi kalau kita sampai mengetahui apa yang akan terjadi pada sesuatu diluar kita, karena hal itu hanyalah Allah yang Maha Tahu apa yang akan terjadi kepada kita dan kahidupan sekitar kita.

Begitu juga dengan judul yang ditulis di atas, judul tersebut bukan berarti penulis mengetahui atau meramalkan apa yang akan terjadi pada falsafah Islam akan tetapi penulis akan mencoba menyampaikan sedikit tentang pengertian, sejarah dan perkembangan falsafah Islam, serta bagaimana kemungkinan yang akan terjadi terhadap falsafah Islam di masa depan dilihat dari keadaan sosial masyarakat pada suatu negara khususnya Indonesia. Semoga tulisan ini bisa memberikan sedikit gambaran tentang apa yang akan terjadi pada falsafah Islam di kemudian hari, dan apa yang harus kita lakuakan terhadap falsafah Islam.

Falsafah Islam

Falsafah adalah kata serapan yang masuk ke dunia Islam melalui usaha penerjemahan teks Yunani yang dilakukan pada abad ke-2 H./ke-8 M. dan ke-3 H./ke-9 M. kata falsafah ini bisa kita lihat hampir sama dengan bahasa Yunani yaitu “Philosophia”, yang berarti kecintaan kepada kebenaran (wisdom).[1] Atau dalam bahasa Arabnya sama dengan kata al-Hikmah yang artinya kebijaksanaan.

Meskipun adanya ketersinggungan antara Yunani dan Islam, bukan berarti Islam menjiplak begitu saja terhadap falsafah Yunani. Akan tetapi saling melengkapi atau bahkan disempurnakan oleh Islam. Nurcholis Madjid menegaskan dalam artikelnya bahwa sumber dan pangkal tolak falsafah dalam Islam adalah ajaran Islam sendiri sebagaimana terdapat dalam al-Qur'an dan as-Sunnah.[2] Beliau menegaskan bahwa falsafah ada dalam ajaran Islam itu sendiri akan tetapi kata yang digunakan untuk menyebut makna tersebut sebelumnya berbeda.

Ketika Islam sudah menguasai dan meluas ke beberapa daerah yang diantaranya sudah kental dengan tradisi falsafah dan Hellenisme, maka secara tidak langsung adanya pertukaran budaya dan ilmu pengetahuan antara satu dengan yang lainnya. Dalam definisi falsafah yang berasal dari Yunani, ada beberapa pengertian falsafah yang sudah lazim terdengar dikalangan para filosof Muslim. Yaitu diantaranya[3] :

  1. Filsafat (al-falsafah) adalah pengetahuan tentang segala yang ada qua maujud-maujud (Asyyā’ bi hiya maujūdah).
  2. Filsafat adalah pengetahuan tentang yang ilahiah dan yang insaniah.
  3. Filsafat mencari perlindungan dalam kematian, maksudnya cinta pada kematian.
  4. Filsafat adalah (upaya) menjadi seperti Tuhan dalam kadar kemampuan manusia.
  5. Filsafat adalah seni (shinā’ah) tentang seni-seni dan ilmu (‘ilm) tentang ilmu-ilmu.
  6. Filsafat adalah prasayarat bagi hikmah.

Dari beberapa pengertian di atas, kita sudah bisa melihat tidak adanya pertentangan dengan ajaran Islam. maka dari sinilah para filosof Muslim mulai mengukir sejarah dengan cirri khas falsafah mereka sendiri. Karena keseriusan para filosof Muslim dalam mencari ilmu dan memaknai falsafah, maka muncullah karya-karya dan definisi-definisi yang dikeluarkan oleh para filosof Muslim dengan kapasitas keislaman yang lebih dalam atau dalam pandangan lebih esoteris.

Diantaranya pengertian falsafah atau hikmah menurut Abū Ya’qūb Al-Kindī dalam al-Falsafah al-Ūlā,” Falsafah adalah pengetahuan tentang realitas hal-hal yang mungkin bagi manusia, karena tujuan puncak filosof dalam pengetahuan teoretis adalah untuk berperilaku sesuai dengan kebenaran.”[4] Kemudian yang disampaikan Ibn Sīnā dalam ‘Uyūn al-Hikmah, “ al-Hikmah (yang baginya berarti sama dengan falsafah) adalah usaha untuk mencapai kesempurnaan jiwa melalui konseptualisasi (tashawwur) atas segala hal dan pembenaran (tashdīq) realitas-realitas teoretis dan praktis berdasarkan ukuran kemampuan manusia.”[5]

Mullā Shadrā dalam Asfār mengatakan bahwa “Falsafah adalah upaya penyempurnaan atas jiwa manusia dan, dalam beberapa hal, atas kemampuan manusia melalui pengetahuan tentang realitas esensial segala sesuatu sebagaimana adanya, dan melalui pembenaran terhadap eksistensi mereka yang ditetapkan atas dasar demonstrasi (burhān) dan bukan diturunkan dari opini dan dugaan.[6] Dari pengertian yang beragam diatas, maka kita bisa melihat bahwasanya adanya keseriuasan yang sangat mendalam terhadap penelitian dan pengkajian falsafah yang dilakukan oleh para filosof Muslim. Dan hal ini tidak berhenti pada suatu masa akan tetapi terus menerus sampai sekarang.

Pada perkembangannya, falsafah Islam tidak serta merta mendapatkan jalan yang mulus dalam kehidupan dunia, falsafah Islam mengalami kemajuan dan kemunduran dari masa ke masa. Apalagi ditambah dengan adanya orang Islam yang berpikiran ortodoks yang tidak menyetujui dan melarang falsafah dalam Islam. diantaranya adalah Ibn Taymiyyah dan Jalal al-Din al-Suyuthi yang tidak setuju dengan falsafah dan menganggap bahwa falsafah adalah ilmu orang-orang kafir apalagi berasal dari orang Yunani yang menyembah berhala (pagan).

Selain itu juga banyak diantara orang Islam yang melarang mempelajari falsafah karena menganggap bisa merusak akidah dan menjadikan kita jauh dari jalan Allah swt. Banyak sekali polemis-polemis yang terjadi dikalangan umat Islam dikarenakan perbedaan persepsi tentang falsafah. Dan hal ini berimbas terus menerus dari satu zaman ke zaman selanjutnya.

Dari polemik-polemik itu bukan berarti menyebabkan terhapusnya tradisi falsafah dimuka bumi, akan tetapi disebagian Negara Muslim ada yang melestarikan kebudayaan tersebut dan menjadi bagian dari umat Islam. sehingga kemudian muncullah para filosof-filosof yang selalu mencari sebuah kebenaran, dengan menggunakan falsafah sebagai alatnya. Dan hal ini terbukti dengan adanya para filosof yang terkemuka di dunia Islam hingga abad ke-14 H./ke-20 M. seperti Mīrzā ahmad Asytiyānī, Sayyid Muhammad kāzhim ‘Ashshār, dan ‘Allāmah Sayyid Muhammad Husain Thabāthabā’ī.[7] yang jasanya terhadap falsafah Islam sangat berharga dan bernilai tinggi.

Islam Indonesia

Dalam sejarah Indonesia tidak diketahui secara pasti kapan masuknya Islam ke Indonesia, akan tetapi sudah terbukti bahwasanya pada abad ke-7 H./ke-13 M. sudah ada kehadiran umat Islam secara nyata di Sumatera Utara.[8] Tidak bias dipungkiri bahwasanya selain agama Islam-nya secara an sich yang masuk ke Indonesia, maka secara tidak langsung juga ajaran-ajaran dan doktrin-doktrin-nya pun masuk dan bercampur dengan kebudayaan Indonesia.

Falsafah Islam adalah salah satu bidang kajian ilmu yang dimiliki dan dikembangkan oleh Islam, akan tetapi sangat sedikit sekali ditemukan di Indonesia. Hal itu dikarenakan sosial budaya yang ada di Indonesia sebelum Islam masuk adalah sosial budaya agama Budha dan Hindu, yang berpandangan hidup tenang dan damai (asketis). Dan hal ini bukan berarti Islam tidak diterima di Indonesia tetapi sebaliknya, bahkan sangat dipuji dan mengalami kemajuan yang sangat pesat dikemudian hari. Yang jadi masalah adalah komponen ilmu dan pola pikir yang ada di dalam tubuh Islam yang disebut dengan falsafah sangat kurang diterima oleh masyarakat Indonesia, karena lebih berpikir agresif dan kelihatan rumit.

Dan yang berjasa dalam penyebaran agama Islam di Indonesia adalah Tashawuf, dan dikemudian hari tashawuf-lah yang berkembang pesat karena kecenderungan sosial budaya di Indoneisa adalah estetis yang telah berakar selama berabad-abad sebelum Islam masuk ke Indonesia. Hal ini dibuktikan dengan adanya para sufi yang sangat terkenal, diantaranya Hamzah Fanshū (w. sekitar 1000 H./1600 M.), Syams al-Dīn al-Sumātrānī (w. 1040 H./1630 M.), Nūr al-Dīn al-Rānīrī (w. 1077 H./1666 M.), ‘Abd al-Ra’ūf al-Singkelī (w. 1104 H./1693 M.)

Walaupun Hamzah Fanshū Syams dan al-Dīn al-Sumātrānī adalah seorang sufi akan tetapi mereka berpikiran filosofis, mereka mengembangkan faham wujūdiyyah Ibn ‘Arabī dan menghasilkan syair-syair yang bercorak filosofis. Seperti yang telah kita ketahui bahwasanya falsafah Islam selalu mendapat pertentangan dari yang lainnya. Pertentangan ini terjadi dimungkinkan karena falsafah adalah Ilmu yang cukup rumit dan menimbulkan beberapa pendapat, maka tentunya ada yang tidak setuju dengan konsep wujūdiyyah tersebut. Diantara yang menentang hal itu adalah Nūr al-Dīn al-Rānīrī.

Polemik inilah mungkin yang cukup besar yang pernah ada di Indonesia, khususnya tentang kefilsafatan atau tashawwuf. Setelah itu kajian keilmuan semakin menurun dan mengalami kemunduran begitu juga dengan ilmu pengetahuan selain falsafah dan tashawuf yang semakin jelas melanda bangsa Indonesia ini pada masa-masa penjajahan.

Setelah mengalami penjajahan yang panjang, maka Indonesia seakan-akan tidak memiliki kajian keilmuan yang mendalam atau bahkan kehilangan jati diri bangsanya sendiri. Hal ini dikarenakan Islam tidak lagi menjadi semangat dalam mencari ilmu, akan tetapi lebih fokus menjadi semangat jihad demi kebebasan dan kemerdekaan umat Islam dan bangsa Indonesia. setelah perjuangan berhasil dan bangsa ini merdeka maka falsafah Islam sangat tidak kelihatan dalam kancah kemerdekaan bangnsa ini. Yang ada hanyalah para sarjana yang berpikiran atau berdasar kepada filosof barat yang disekolahkan oleh belanda, karena pada masa penjajahan Islam sangat dibenci dan untuk mengalahkan Islam sendiri harus memakai orang Islam sendiri. Maka ada beberapa pelajar Indonesia yang beragama Islam akhirnya belajar ke negeri barat dan mempelajari falsafah barat demi kepentingan penjajah.

Bangsa Indonesia pasca kemerdekaan adalah bangsa yang terus menerus dicekoki oleh ilmu-ilmu dari barat bahkan sistem pemerintahan pun sangat erat kaitannya dengan negara barat. Dan budaya yang berkembang di Indonesia juga pasti sangat erat dengan kebiasaan dan budaya barat. Hal ini terbukti sampai sekarang dengan gaya hidup kapitalisme, budaya populer, hedonisme dan lain-lain.

Sedangkan Islam di Indonesia sendiri berkembang dengan mayoritas berfaham Sunni dan bermadzhab teologi Asy’ariyyah, serta madzhab fiqh Syafi’i. dimana madzhab tersebut cukup menentang terhadap kajian falsafah. Akan tetapi walaupun mayoritas bermadzhab sunni, bukan berarti tidak ada yang mempelajari falsafah hanya memang sangat sedikit sekali orang yang mempelajari falsafah Islam. karena kajian keilmuan falsafah Islam untuk sekarang sangat minim sekali dan minat dari masyarakatpun masih kurang. Ditambah dengan adanya doktrin Syafi’iyyah yang melarang umat Islam untuk mempelajari falsafah, karena mereka berkeyakinan bahwa falsafah adalah dari orang kafir dan bisa merusak akidah umat Islam.

Masa Depan Falsafah Islam di Indonesia

Indonesia adalah Negara yang berpenduduk Muslim terbanyak di dunia, akan tetapi hanya sedikit orang yang mengetahui atau yang mempunyai kedalaman ilmu tentang Islam. Hal ini mungkin dikarenakan karena ilmu pengetahuan yang diajarkan kepada umat Muslim Indonesia adalah metode ilmu pengetahuan dari barat. Sebagaimana yang dikatakan oleh Mulyadi Kartanegara, “Dominasi pandangan ilmiah modern (barat) telah begitu dalam merasuki pola pikir keilmuan kita, sehingga kita tidak merasakannya lagi sebagai sesuatu yang asing, apalagi aneh, dalam pandangan keilmuan (epistemologi) kita.[9]

Selain itu beliau juga mengatakan bahwa dengan membatasi bidang ilmiah hanya pada dunia empiris, yang selama ini dikembangkan oleh dunia barat. Maka pandangan barat tersebut berpotensi untuk “melecehkan” agama dan status keilmuan ilmu-ilmu agama.[10] Dari pandangan tersebut kita bisa melihat bahwasanya adanya kekhawatiran atas masa depan keilmuan Islam di Indonesia, hal ini dikarenakan sudah lamanya dan terbiasanya bengsa ini dengan keilmuan barat yang bias melupakan keilmuan Islam. Bahkan mungkin bangsa ini merasa asing dan aneh dengan keilmuan Islam seperti falsafah Islam.

Umat Islam Indonesia adalah umat Islam yang paling banyak menganut faham teologi Asy’ariyyah, yang berpandangan bahwa peran akal dan wahyu adalah seimbang, dan kalaupun ada bertentangan diantara keduanya maka yang lebih didahulukan adalah wahyu. Dari pandangan itu sangat sulit sekali bagi mayoritas umat Islam Indonesia untuk menerima atau mengembangkan falsafah Islam, karena mereka berpandangan bahwa wahyu lebih penting daripada akal.

Berbeda dengan sebagian umat Islam Indonesia yang mungkin hanya sedikit orang yang mempunyai faham Mu’tazilah, dimana faham Mu’tazilah ini mementingkan akal daripada wahyu. Mungkin lewat para pemikir inilah falsafah Islam di Indonesia bisa berkembang dan mempunyai daya saing dengan keilmuan yang selama ini telah mengakar di umat Islam Indonesia.

Selain dominan dengan madzhab teologinya Asy’ariyyah, umat Islam Indonesia juga kebanyakan bermadzhab fiqh Syafi’i. yang dimana faham fiqh ini juga yang cukup gencar dalam menahan masuknya falsafah ke Indonesia. Berbeda dengan yang berfaham fiqh Hanafi yang lebih terbuka dan inklusif, akan tetapi masalahnya juga sama bahwasanya yang berfaham fiqh inipun jumlahnya sedikit. Jadi mungkin sulit juga bagi falsafah Islam untuk masuk ke wacana fiqh yang telah ada selama ini di Indonesia.

Hal ini juga tidak bisa lepas dari yang namanya pemerintahan atau kekuasaan karena biasanya sejarah mengatakan bahwasanya setiap faham atau madzhab yang dekat dengan kekuasaan (penguasa) maka madzhab itulah yang biasanya bisa berkembang dan bisa meluas ke seluruh pelosok negri. Akan tetapi untuk di Indonesia wacana ini mungkin bisa dihindari, karena Negara kita bukanlah Negara yang dibangun atas dasar kemadzhaban dan faham tertentu akan tetapi dengan rasa nasionalisme dan kerakyatan sehingga negara kita masih terbuka untuk setiap madzhab dan faham. Berbeda jikalau negara ini dikuasai oleh orang-orang yang bermadzhab tertentu, apalagi oleh orang Muslim yang berpikiran ortodoks, maka bisa dibayangkan sulit dan berkembangnya wacana keislaman khususnya falsafah di Indonesia.

Dari beberapa wacana diatas, maka kita melihat bahwasanya sangat sulit sekali untuk keilmuan Islam khususnya falsafah Islam untuk berkembang di Indonesia. Akan tetapi wacana fesimis itu berbeda dengan para pemikir yang minoritas dan mengusahakan agar falsafah Islam berkembang dan eksis di Indoneisa. Mereka berpandangan optimis dan percaya bahwasanya pemikiran falsafah Islam di Indonesia akan berkembang walaupun kenyataan sekarang minat terhadap falsafah Islam sangat sedikit.

Minat masyarakat Indonesia terhadap falsafah sangat sedikit, mungkin dikarenakan karena falsafah Islam ini masih sebagai wacana baru dan masih ada ketakutan terhadap yang namanya falsafah. Hal ini bisa juga dibuktikan dengan masih sedikitnya sekolah-sekolah yang mengadakan program studi falsafah, selain itu karya-karya, bahan-bahan dan wacana-wacana tentang kefilsafatanpun masih sedikit. Tidak setiap golongan masyarakat bisa mendengar dan menikmati wacana kefilsafatan apalagi dihubungkan dengan standar pendidikan Indonesia yang masih jauh dari kesmpurnaan.

Sedikitnya pengetahuan kita tentang falsafah, bisa diketahui dengan masih sedikitnya para filosof yang kita kenal dan biasanya kebanyakan para filosof yang kita kenal juga adalah para filosof barat sedangkan hanya sedikit sekali yang kita kenal tentang para filosof Muslim. Maka untuk memperkenalkan falsafah Islam dan mengembangkannya, sedikitnya ada 5 (lima) aspek dari falsafah Islam yang menurut Mulyadi Kartanegara, belum mendapat perhatian yang sangat serius oleh para sarjana Muslim khususnya yang mendalami falsafah Islam di Indosesia. Dan karena itu menurut beliau sangat penting sekali untuk dikaji demi kemajuan falsafah Islam di masa yang akan datang. Dan kelima aspek tersebut adalah sebagai berikut,[11]:

Pertama, Studi Biografis. Beliau berpendapat bahwasanya studi tentang biografi para filosof Muslim sangat sedikit sekali, sejak tahun tujuh puluhan, Harun Nasution sudah mengenalkan kepada kita tentang filosof Muslim dan itupun hanya tujuh filosof Muslim, seperti al-Kindī, al-Farabī, Ibn Miskawaih, al-Ghazāli, dan Ibn Rusyd. Ditulis dalam karyanya filsafat dan Mistisisme. Setelah ini pengetahuan tentang falsafah Islam tidak berkembang secara signifikan, sampai munculnya buku terjemahan Mulyadi Kartanegara Sejarah Filsafat Islam pada tahun 1987 karya monumental Majidd Fakhri, A History Of Islamic Philosophy. Dan setelah beberapa tahun kemudian muncullah buku terjemahan History of Islamic Philosophy, yang di edit S.H. Nasr dan Oliver Leaman, pada awal 2000-an, oleh penerbit Mizan.

Dari buku tersebut kita bisa mengetahui lebih banyak para filosof Muslim yang ada, akan tetapi hal ini masih kurang karena sebenarnya masih banyak para filosof Muslim yang belum dikenal oleh kita, misalnya ada sebuah buku yang menulis 380 filosof Musim dan biografinya dimuat dalam kitab ‘Uyūal-Anbā’ fī Thabaqāt al-Athibbā. Sebenarnya buku tersebut memuat sekitar 400 biografi filosof, terdiri dari 380 filosof Muslim dan 20 filosof non-Muslim.

Masih banyak buku yang memuat tentang sejarah ataupun biografi para filosof Muslim akan tetapi masih sedikit yang sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dan ini adalah salah satu tugas yang harus dilakukan para sarjana Indonesia supaya kekayaan khazanah keislaman dan kefilsafatan kita semakin banyak.

Kedua, Karya-Karya Gnomologis (Hikmah). Yaitu yang berkenaan dengan karya-karya hikmah, atau biasa disebut gnomologis, yaitu karya-karya yang memuat kata-kata mutiara. Di Idonesia sangat sedikit sekali karya-karya gnomologis ini bahkan mungkin tergolong jarang, diantara contoh karya ini adalah kitab al-Hikam karangan Atha’illah al-Iskadarani, salah seorang murid kesayangan Abu al-Hasan al-Syadzili. Sebenarnya selain karya itu masih banyak sekali karya-karya gnomologis yang belum dikaji secara serius oleh para sarjana Muslim Indonesia dan dikenalkan kepada masyarakat Indonesia.

Ketiga, Sains Islam. Ini adalah aspek yang cukup penting dalam ajaran Islam, karena para pendahulu kita, khususnya para filosof Muslim banyak yang mengeluarkan karya-karya sains. Akan tetapi hal ini menjadi terhalang karena perkembangan sains berjaya dan berkembang pesat di dunia barat. Jadi karya-karya filosof Muslim yang banyak dan bahkan adalah yang menggagas pertama kali beberapa bidang keilmuan sains menjadi terasa hilang dan Islam terasa tidak mempunyai andil apapun dalam sains Islam. Ini adalah tugas berat para sarjana Muslim Indonesia untuk membuktikan dan menjadikan sains Islam sebagai solusi atau tandingan terhadap sains barat dimasa depan.

Keempat, Filsafat Parenial. Yaitu filsafat yang menggabungkan dua keilmuan, yaitu ilmu-ilmu yang bersifat empiris dan metafisik. Keilmuan ini sudah banyak dan sudah berkembang di beberapa Negara diluar Idonesia. Dan keilmuan ini bisa kita kembangkan demi kekayaan khazanah falsafah Islam di masa depan.

Kelima, Filsafat Pasca Ibn Rusyd. Kebanyakan kita memandang bahwa falsafah Islam berhenti atas pengkajiannya sampai kepada Ibn Rusyd, hal ini yang menyebabkan mandegnya falsafah Islam di Indonesia. Padahal jika kita lihat dan telusuri masih banyak para filosof pasca Ibn Rusyd yang memberikan pemikiran-pemikiran mereka terhadap kekayaan keilmuan Islam. walaupu nama mereka tidak sebesar Ibn Rusyd akan tetapi mereka mempunyai pemikiran-pemikiran yang briliyan dan cerdas, dan inilah yang belum banyak mendapat perhatian dari para sarjana kita di Indonesia. Dan menjadi tugas kita bahwa falsafah Islam tidak berhenti sampai Ibn Rusyd akan tetapi masih banyak karya yang belum kita telusuri dan harus kita teliti demi kemajuan kita bersama.

Dari beberapa wacana yang disampaikan oleh Mulyadi tersebut,kita bisa lihat bahwasanya perhatian terhadap falsafah Islam tidak berhenti dan akan terus ada sampai Islam tidak ada di dunia ini. Akan tetapi apakah falsafah Islam itu akan berkembang di Indonesia ataupun tidak, itu tergantung kepada para sarjana Muslim sendiri apakah mereka mau mengembangkan dan meningkatkan wacana keilmuan falsafah Islam ataupun tidak. Karena jika kita lihat sekarang maka minat dari masyarakat terhadap falsafah sudah mulai berkembang dan mendapat respon yang positif terhadap kemajuan dan perkembangan Islam.

Jika kita menginginkan kemajuan terhadap Islam sekurang-kurangnya kita mengkaji dan memperdalam apa yang telah disampaikan oleh Mulyadi Kartanegara dan sebenarnya masih banyak pula yang memberikan gagasan tentang kemajuan falsafah Islam di Indonesia. Jadi berkembang dan majunya falsafah Islam itu ditentukan oleh orang-orang yang benar-benar serius dalam mendalami kajian falsafah Islam, walaupun mungkin ada halangan dan rintangan yang harus dilalui.

Wallahu a’lam bish-shawwab.

Bahan Bacaan :

http://media.isnet.org/islam/Paramadina/Doktrin/Falsafah1.html, Senin, Tanggal 11 Juni 2007, Pukul 15:15.

http://ms.wikipedia.org/wiki/Islam_Indonesia, Senin, Tanggal 11 Juni 2007, Pukul 15:00.

Kartanegara, Mulyadi. 2006. “Gerbang Kearifan : Sebuah Pengantar Filsafat Islam”. Jakarta : lentera Hati.

Nasr, Seyyed Hossein dan Leaman, Oliver. 20003. “Ensiklopedi Tematis Filsafat Islam : Buku Pertama dan Kedua”. Bandung : Mizan.

Praja, Juhaya S. 2002. “Filsafat dan Metodologi Ilmu”. Jakarta : Teraju.



[1] http://media.isnet.org/islam/Paramadina/Doktrin/Falsafah1.html, Senin, 11-06-2007, 15:15.

[2] http://media.isnet.org/islam/Paramadina/Doktrin/Falsafah1.html, Senin, 11-06-2007, 15:15

[3] Nasr, Seyyed Hossein “ensiklopedi Tematis Filsafat Islam : Makna dan Konsep Filsafat Dalam Islam”. hal. 30

[4] Ibid. hal. 31

[5] Ibid. hal. 31

[6] Ibid. hal. 33-34

[7] Ibid. hal. 35

[8] Moris, Zailan “Ensiklopedi Tematis Filsafat Islam : Asia Tenggara”. Hal. 1481

[9] Kartanegara, Mulyadi, “Filsafat dan Metodologi Ilmu : Kata Pengantar”. hal. xv

[10] Ibid. hal. xvi

[11] Kartanegara, Mulyadi. “gerbang kearifan : Sebuah PengantarFilsafat Islam”. Hal. 153-184


Tidak ada komentar: