Senin, 20 Agustus 2007

Hubungan Antara ’Ilmu Kalâm dan Falsafah


Oleh : Amas Syaepul Arifin


Setiap ilmu pengetahuan pasti ada keterkaitan atau hubungan dengan ilmu pengetahuan yang lainnya. Begitu pula yang akan dibahas pada tulisan ini, yaitu adanya hubungan antara falsafah dan ’ilmu kalâm. Disini akan dibahas dari segi atau aspek ’ilmu kalâm dan bagaimana ’ilmu kalâm ini bersinggungan dengan falsafah. Kalâm atau ’ilmu kalâm (ilmu kalam), adalah nama cabang pengetahuan dalam Islam yang biasanya diterjemahkan sebagai ”teologi spekulatif”. Secara harfiah, kalâm berarti ”perkataan”, ”pembicaraan”, atau ”kata-kata” ; yatakallam fi berarti membicarakan atau mendiskusikan suatu masalah atau topik tertentu.

style="font-size:12;">[1]

Diatas telah disinggung beberapa pengertian tentang kalâm secara bahasa atau harfiah, maka Secara harfiah, kata-kata Arab kalâm, berarti "pembicaraan". Tetapi dalam pengertian secara istilah, kalam tidaklah dimaksudkan "pembicaraan" dalam pengertian sehari-hari, melainkan dalam pengertian pembicaraan yang bernalar dengan menggunakan logika.[2] Dan istlah ini juga merujuk pada sistem pemikiran spekulatif yang berfungsi untuk mempertahankan Islam dan tradisi keislaman dari ancaman maupun tantangan dari luar.[3] Jadi bisa disebut bahwa ’ilmu kalâm adalah ilmu yang membahas tentang sesuatu hal dengan menggunakan akal rasional dengan untuk menjaga Islam dan tradisinya dari serangan-serangan budaya luar.

Kalau ’ilmu kalâm dipergunakan dengan akal atau rasio, maka ada kesamaan dengan falsafah yang mengunakan logika dalam keilmuannya. Maka tidak dapat dielakkan keduanya akan bertemu dan saling mengisi antara satu dengan yang lainnya. Dengan demikian, Maka ciri utama ’ilmu kalâm ialah rasionalitas atau logika. Karena kata-kata kalâm sendiri memang dimaksudkan sebagai terjemahan dari sebuah kata yang dalam istilah Yunani disebut logos yang juga secara harfiah berarti "pembicaraan", tapi yang dari kata itulah terambil kata logika dan logis sebagai derivasinya. Kata Yunani logos juga disalin ke dalam kata Arab sebagai manthiq, sehingga ilmu logika, khususnya logika formal atau silogisme ciptaan Aristoteles dinamakan Ilmu Mantiq ('Ilm al-Mantiq). Maka kata Arab "manthiqi" berarti "logis".[4] Dari uraian diatas ada kesamaan arti dari segi bahasa dengan anta kalâm dengan falafah Aristotelian yang disebut dengan Logos.

Setelah diuraikan pengertian ’ilmu kalâm secara bahasa maka dibawah ini akan disampaikan pengertian ’ilmu kalâm secara istilah. Perlu diketahui bahwa orang-orang yang terlibat dalam pembicaraan-pembicaraan tentang masalah ’ilmu kalâm disebut dengan mutakallimûn. Dalam sejarahnya ’ilmu kalâm sering dituduh sebagai tiruan dari tradisi kristen, padahal pada kenyataannya tidak ada bukti yang menguatkan hal tersebut. Pada dasarnya kalâm sudah dikenal sebelum adanya pencampurang dengan ilmu pengetahuan yang lain. Dan pembicaraan ini sudah ada semenjak masa Nabi akan tetapi belum dikenal sebagai sebuah ilmu yang formal. Kata ’ilmu kalâm yang digunakan oleh para sarjana Muslim terkadang disebutkan dengan kata yang berbeda, dengan maksud bahwa hal itu adalah ’ilmu kalâm atau pembahasan tentang ’ilmu kalâm.

Definisi ’ilmu kalâm secara istilah yang disampaikan oleh para ahli Mutakallimûn diantaranya, yang dikemukakan oleh Abû Hanifah (w. 150 H/787 M), yang memberi nama kalâm dengan al-fiqh al-akbar dan menyatakan : ”Fiqh dalam ushûl al-dîn lebih baik dibandingkan fiqih dalam furû al-aħkâm. Fiqih adalah pengetahuan tentang kepercayaan dan praktik yang diperbolehkan dan yang wajib. Apa yang berhubungan dengan kepercayaan disebut al-fiqh al-akbar ; sedangkan yang berhubungan dengan praktik disebut al-fiqh saja.[5] Al-Fârâbî (w. 339 H/950 M) membedakan antara kalâm dan fiqh dan mendefinisikan kalâm dalam Iħshâ Al-’Ulûm sebagai. ”ilmu yang memungkinkan seseorang untuk menopang kepercayaan-kepercayaan tertentu dan perbuatan-perbuatan yang ditetapkan oleh sang pembuat hukum agama dan untuk menolak opini-opini yang bertentang dengannya.”

Al-Baidhâwî (w. 680 H/1281 M) dan Al-Ijî (w. 756 H/1355 M) memberikan definisi kalâm sebagai : ”ilmu yang memungkinkan seseorang untuk menegakkan kepercayaan-kepercayaan agama, dengan mengemukakan argumen / bukti, dan menghilangkan keraguan.” Ibnu Khaldûn (w. 807 H/ 1404 M) mendefinisikan kalâm sebagai : ”ilmu yang melibatkan argumentasi dengan bukti-bukti rasional untuk membela rukun-rukun iman dan menolak para ahli bid’ah yang menyimpang dari kepercayaan kaum Muslim generasi awal dan ortodoksi Muslim.” pada zaman modern, Muhammad ’Abduh (w. 1323 H/1905 M) mengemukakan definisi : ”Ilmu yang mengkaji Wujud dan Sifat Tuhan, penegasan-penegasan yang esensial, dan yang mungkin tentang Dia, dan juga penafian yang mesti dibuat berkaitan dengan-Nya. ’ilmu kalâm juga berhubungan dengan para Rasul dan keautentikan pesan mereka serta pengujian terhadap kualitas mereka yang esensial dan yang benar dan apa yang tidak sesuai dalam kaitannya dengan kualitas tersebut.”

Dari definisi ’ilmu kalâm yang disampaikan para Teolog diatas, maka kita bisa melihat bahwasanya ’ilmu kalâm tidak hanya sekedar membahas atau berbicara tentang sesuatau hal, akan tetapi sebagai pembuktian dan penolakan terhadap sesuatu yang akan menganggu kemurnian agama Islam dimasa tersebut dan yang akan datang. Dengan kata lain bahwa jika ’ilmu kalâm adalah ilmu yang berdasarkan atas rasio dan logika, maka ’ilmu kalâm tidak bisa menahan atau membalas serangan dari luar jika para teolognya tidak menguasai tentang ilmu selain daripada ’ilmu kalâm terutama logika. Dan logika Yunani yang mungkin dipakai untuk menyerang kemurnian Islam hanya mungkin bisa dilawan dengan logika Yunani beserta kedua sumber hukum yang telah disampaikan yang akan menyeimbangi atau bahkan mengalahkan argumen-argumen yang disampaikannya.

Sumber-sumber tradisional yang di gunakan dalam ’ilmu kalâm pada kemudian hari bercampur dengan argumen logika yang kemudian dikenal dengan nama teologi dialektik. Akan tetapi fungsi logika hanya sebagai ”norma atau ukuran”, atau lebih populer disebut sebagai ”alat”. Logika berfungsi menguatkan argumen filsafat dan ilmu yang lainnya.[6] Disini bisa dilihat bahwasanya logika yang digunakan dalam filsafat bisa juga masuk kedalam ’ilmu kalâm, dengan adanya keterkaitan antara ’ilmu kalâm dengan logika, maka ’ilmu kalâm juga sangat erat hubungannya dengan filsafat.

Setelah disinggung melalui pendekatan definisi, maka disini akan disampaikan tahap-tahap perkembangan ’ilmu kalâm, sebagai berikut[7] :

1. Tahap permulaan, yang meliputi tahun-tahun pertama dan tahun-tahun paling awal abad ke-2 H/ke-8 M.

2. Tahap pencatatan dan kelahiran berbagai aliran dan sekte kalâm. Ini berlangsung selama empat abad, dari tahun-tahun awal abad ke-2 H hingga akhir abad ke-5 H/ke-8 M.

3. Tahap evolusi dan pencampuran dengan filsafat, yang berlangsung selama abad ke-6-9 H/ke-12-15 M.

4. Tahap kemunduran dan peniruan, dari abad ke-10 H/ke-16 M hingga akhir abad ke-12 H/ke-18 M.

5. Periode Modern, yang sudah berlangsung dua abad terakhir ini.

Dari tahap-tahap yang dikemukakan diatas, maka kita menemukan salah satu tahap adanya hubungan antara filsafat dan ’ilmu kalâm yang berlangsung kurang lebih selama 3 abad. Pada abad-abad awal ada golongan yang disebut dengan mu’tazillah yang disebut mempunyai ciri pemikiran yang rasional, dan menjadi salah satu ciri pemikiran Mu'tazili yaitu rasionalitas dan berpaham Qadariyyah. Walaupun mu’tazillah bercorak rasional bukan berarti mereka yang pertama kali benar-benar menggunakan filsafat sebagai alat dalam menyampaikan pendapatnya, dan orang yang pertama kali benar-benar menggunakan unsur-unsur Yunani dalam penalaran keagamaan ialah seseorang bernama Jahm ibn Shafwan yang justru penganut paham Jabariyyah, yaitu pandangan bahwa manusia tidak berdaya sedikit pun juga berhadapan dengan kehendak dan ketentuan Tuhan. Jahm mendapatkan bahan untuk penalaran Jabariyyah-nya dari Aristotelianisme, yaitu bagian dari paham Aristoteles yang mengatakan bahwa Tuhan adalah suatu kekuatan yang serupa dengan kekuatan alam, yang hanya mengenal keadaan-keadaan umum (universal) tanpa mengenal keadaan-keadaan khusus (partikular).[8]

Maka sejak pertama kali munculnya pertentangan teologi antara madzhab-madzhab dalam Islam, sudah terlihat mereka menggunakan metode filsafat Yunani sebagai alat untuk mengungkapkan pendapatnya, dan menghancurkan pendapat orang lain. Selain hal diatas, sebenarnya para teolog sering bersinggungan dengan metode atau pandangan-pandangan dari para filusuf Yunani, salah satu contohnya yaitu ketika orang-orang Islam berkenalan dengan dua pendapat yang bertentangan dari para filusuf Yunani. Disatu pihak, ada filusuf yang percaya akan adanya Tuhan sebagai sebab niscaya yang jauh dari peristiwa-peristiwa di dunia. Tuhan yang menjadi sebab tak langsung semua peristiwa di dunia melaui benda-benda yang bertindak sebagai perantara dan sebab langsung dari peristiwa-peristiwa tersebut.

Di lain pihak, ada filusuf-filusuf Epikurian, yang menolak sama sekali eksistensi Tuhan dan menolak bahwa benda-benda tersebut merupakan sebab-sebab langsung bagi peristiwa. Bagi mereka semua peristiwa di dunia ini terjadi secara kebetulan saja. Dalammenanggapi kasus ini, para teolog Muslim membenarkan kepercayaan akan adanya Tuhan sebagaimana dikuatkan oleh pandangan pertama, tetapi menolak konsepsi Tuhan sebagai sebab tak langsung. Mereka juga menolak konsepsi bahwa benda-benda memiliki kekuatan kausal. Terhadap pandangan yang kedua, mereka membenarkan penolakan Epikurus terhadap kekuatan kausal benda-benda di dunia, tetapi mereka menyangkal penolakannya terhadap eksistensi Tuhan, dan juga pernyataan Epikurus dan para pengikutnya bahwa semua peristiwa di dunia ini terjadi secara kebetulan belaka.[9]

Bisa kita lihat adanya keterbukaan dari para sarjana Muslim terhadap ilmu pengetahuan terutama filsafat, akan tetapi mereka membawa atau mengambil ilmu yang meungkinkan untuk mempertahankan tauhid dan kemurnian ajaran Islam. Dan membuang sesuatu yang bertolak belakang dengan keyakinan atau ketentuan syar’i. Kejadian-kejadian ini sudah terjadi ketika umat Islam menyebar dan membebaskan negri-negri yang berada diluar jazirah Arab, dan mereka mulai bergaul dan bercampur dengan pemikiran-pemikiran Hellenisme yang ada pada tradisi dan intelektual mereka.

Dari uraian-uraian di atas, maka kita bisa melihat bahwasanya adanya keterkaitan atau kedekatan antara ’ilmu kalâm dengan filsafat. Serta hubungan yang erat antara satu dengan yang lainnya. Dimana ’ilmu kalâm dibantu oleh logika dengan menggunakannya sebagai alat dalam penyampaian dan pengembangan ’ilmu kalâm. Sedangkan ’ilmu kalâm bisa dianggap sebagai salah satu ilmu pengetahuan yang menyebarkan dan mengukuhkan teori atau metode logika dalam filsafat. Dan mungkin hubungan ini juga serupa dengan kajian ilmu yang lainnya.

Referensi :

1. Nasr, Sayyed Hossein dan Leaman, Oliver. 1996. ”Kalam Awal : Ensiklopedi Tematis Filsafat Islam : Buku pertama”. Bandung : Mizan

2. Ilmu Kalam : Ensiklopedi Tematis Dunia Islam, Pemikiran dan Peradaban / jilid IV”. Jakarta : PT Ichtiar Van Hoeve

3. Maghfur W, M. 2002. ”Koreksi Atas Kesalahan Pemikiran Kalam dan Filsafat Islam”. Bangil : Al-Izzah

4. http://media.isnet.org/islam/Paramadina/Doktrin/Kalam1.html


[1] Haleem, M. Abdel ”Kalam Awal : Ensiklopedi Tematis Filsafat Islam, Buku Pertama”. Hal. 85.

[2] http://media.isnet.org/islam/Paramadina/Doktrin/Kalam1.html

[3]’ilmu kalâm: Ensiklopedi Tematis Dunia Islam”. Hal. 117.

[4] http://media.isnet.org/islam/Paramadina/Doktrin/Kalam1.html

[5] Kalam Awal : Ensiklopedi Tematis Filsafat Islam, Buku Pertama” hal. 91

[6]Ilmu Kalam: Ensiklopedi Tematis Dunia Islam, Jilid III”. Hal. 119.

[7] Kalam Awal : Ensiklopedi Tematis Filsafat Islam, Buku Pertama”. Hal. 96.

[8] http://media.isnet.org/islam/Paramadina/Doktrin/Kalam1.html

[9]Ilmu Kalam : Ensiklopedi Tematis Dunia Islam, Jilid III” hal. 132-133.


Tidak ada komentar: