Senin, 13 Agustus 2007

Ibadat Sebagai Institusi Iman

Oleh : Amas Syaepul Arifin

Ringkasan

Sedikit Tentang Pengertian Ibadat

Ibadat dari sudut kebahasaan “Ibadat” (Arab : ‘ibādah, mufrad ; ‘ibādat, jamak) berarti pengabdian (seakar dengan kata Arab ’abd yang berarti hamba atau budak), yakni pengabdian (dari kata “abdi”, ‘abd ) atau penghambaan diri kepada Allah, Tuhan Yang Maha Esa. Dalam arti yang luas, ibadat mencakup keseluruhan kegiatan manusia dalam hidup di dunia ini. Sesuai dengan firman Allah bahwa manusia (dan Jin) tidaklah diciptakan Allah melainkan untuk mengabdi kepada-Nya. Dalam arti yang lebih khusus, ibadat menunjuk kepada amal perbuatan tertentu yang secara khas bersifat keagamaan.


Dalam melakukan amal perbuatan yang bersifat ibadat, seseorang harus hanya mengikuti petunjuk-petunjuk agama dengan referensi kepada sumber-sumber suci (Kitab dan Sunnah), tanpa sedikitpun hak bagi seseorang untuk menciptakan sendiri cara dan pola mengerjakannya. Jadi seseorang dilarang menciptakan sendiri bentuk dan cara suatu ibadat, sebab hal itu merupakan hak prerogatife Allah yang disampaikan kepada Rasulnya. Sedangkan ibadat yang mu’amalat pada dasarnya diperbolehkan kecuali ada ketentuan lain dari ajaran agama.

Problematik Hubungan Antara Ibadat dan Iman

Ada beberapa problema yang terjadi terhadap hubungan antara ibadat dan iman yaitu, Pertama dalam kenyataan historis tidak pernah ada sistem kepercayaan yang tumbuh tanpa sedikit banyak mengintrodusir ritus-ritus. Jadi secara empiris, setiap sistem kepercayaan selalu melahirkan sistem ritual atau ibadatnya sendiri. Kedua, dari persoalan iman tanpa ibadat inilah bahwa iman selalu memiliki dimensi suprarasional atau spiritual yang mengekspresikan diri dalam tindakan-tindakan devotional (kebaktian) melalui sistem ibadat. Ibadat juga menyediakan pengalaman keruhanian yang tidak kecil artinya bagi rasa kebahagiaan.

Ketiga, ialah bahwa memang benar yang penting adalah iman dan amal shaleh, yaitu suatu rangkaian dari dua nilai yang salah satunya (iman) mendasari yang lain (amal shaleh), dan wujud nyata hidup kegamaan selalu didapatkan dalam bentuk-bentuk kegiatan ubudiyah. Sistem ibadat merupakan salah satu kelanjutan logis sistem iman. Keimanan itu harus dilembagakan dalam peribadatan sebagai ekspresi perhambaan seorang kepada pusat makna dan tujuan hidupnya, yaitu Tuhan.

Ibadat antara Iman dan Amal Shaleh

Ibadat sebagai institusi yang menengahi antara iman dan konsekuensinya, yaitu amal-perbuatan. Keimanan bisa berada pada tingkat keabstrakan yang sangat tinggi, yang sulit ditangkap hubungannya dengan perilaku nyata sehari-hari. Bagi agama samawi Tuhan tidak dipahami sebagai yang berlokus pada benda-benda (totemisme) seperti pada beberapa agama lain, tetapi sebagai yang mengatasi alam dan sekaligus menuntut pada manusia untuk menjalani hidupnya mengikuti jalan tertentu yang ukurannya ialah kebaikan seluruh anggota masyarakat manusia sendiri. Selain itu Tuhan juga bersifat etikal, dalam arti bahwa dia menghendaki pada manusia tingkah laku yang akhlaqi atau etis, bermoral.

Untuk menengahi antara iman yang abstrak dan tingkah laku atau amal-perbuatan yang konkret itu ialah ibadat-ibadat. Seolah-olah suatu konkretisasi rasa keimanan, ibadat mengandung makna intrinsik sebagai pendekatan kepada Tuhan (taqarrub). Dalam ibadat itu seorang hamba Tuhan atau ‘abd Allah merasakan kehampiran spiritual kepada khaliqnya. Selain itu ibadat juga mengandung makna instrumental, karena ia bisa dilihat sebagai usaha pendidikan pribadi dan kelompok (jama’ah) kearah komitmen atau pengikatan batin kepada tingkah laku moral. Asumsinya ialah bahwa melalui ibadat, seseorang yang beriman memupuk dan menumbuhkan kesadaran individual dan kolektifnya akan tugas-tugas pribadi dan sosialnya mewujudkan kehidupan bersama yang sebaik-baiknya di dunia ini.

Ibadat dapat disebut sebagai bingkai dan pelembagaan iman, yang membuatnya mewujudkan diri dalam bentuk-bentuk tingkah laku dan tindak-tanduk nyata. Selain itu ibadat juga berfungsi sebagai usaha memelihara dan penumbuh iman itu sendiri.

Fitrah Manusia dan Ibadat

Sebagai pernyataan pengabdian kepada Tuhan, ibadat yang juga mengandung arti pengagungan itu sesungguhnya adalah hal yang fitri. Yakni, hal yang secara inheren terdapat pada kecenderungan alami manusia dan alam kejadian asalnya sendiri. Kecenderungan manusia untuk melakukan tindakan-tindakan ubudiyah harus disalurkan secara benar. Ibadah yang benar tentunya tidak akan berdampak pengekangan dan pembelengguan individu seperti yang ada pada sistem-sistem mitologis.

Tindakan ubudiyah harus hanya ditujukan kepada Dia yang keyakinan, kesadaran dan pengalaman akan kehadiran-Nya dalam hidup menghasilkan ketulusan untuk berbuat sesuatu guna memperoleh “perkenan”-Nya, yaitu amal shaleh. Ibadat merupakan lambang pengagungan seorang hamba kepada khaliqnya serta pernyataan akan penerimaan hamba itu akan tuntutan moralnya. Melalui ibadat itu seorang hamba mengharap bahwa al-khaliq akan menolong dan membimbing hidupnya menempuh jalan menuju kebenaran.

Ibadat dan Relijiousitas

Tindakan ubudiyah harus disertai dengan sikap pasrah sepenuhnya (islam) kepada sesembahan (al-ma’bud, yaitu Allah, Tuhan Yang Maha Esa). Sebab melakukan tindakan ubudiyah tanpa disertai sikap pasrah yang tulus akan membatalkan makna tindakan itu sendiri, yaitu pengalaman kedekatan dan keakraban dengan al-khaliq, sang Maha Pencipta. Kesadaran akan kehadiran Tuhan Maha Pencipta dalam hidupnya itulah seorang manusia menemukan hakikat dirinya. Salah satu bentuk ibadat dalam islam yang amat simbolik untuk kesadaran akan kehadiran Tuhan dalam hidup manusia ialah salat. Salat (Arab : shalāh, mufrad ; shalawāt, jamak) sendiri secara harfiah berarti seruan, sama dengan arti perkataan “do’a” (du’a), yakni seruan seorang hamba kepada Tuhan, pencipta seluruh alam.

Salat diberi batasan sebagai “sekumpulan bacaan dan tingkah laku yang dibuka dengan takbir dan ditutup dengan taslim itu juga amat simbolik untuk ketundukan (thā’ah, taat) dan kepasrahan (islam) seorang kepada Tuhan. Dalam momen salat itu seorang hamba diharapkan menghayati sedalam-dalamnya kehadiran Tuhan dalam hidup ini, karena salat yang sempurna itu, yaitu yang dilakukan dengan kekhusukan dan kehadiran hati yang disertai ketenangan (thuma’ninah) seluruh anggota badan, seperti dikatakan oleh Ali Ahmad al-Jurjawi, adalah pernyataan iman yang sempurna. Salat itu membentuk rasa keagamaan satu relijiousitas yang sangat tinggi.

Relijiousitas dapat berimplikasi luas sekali dalam hidup ini, baik hidup lahiriah maupun batiniyah. Maka salat yang berhasil akan mempunyai dampak membentuk sikap jiwa yang bebas dari kekuatiran tidak pada tempatnya menghadapi hidup. Salat dan bentuk ibadat yang lainnya bersangkutan kuat sekali dengan keteguhan jiwa dan ketabahan hati menempuh hidup, karena adanya harapan kepada Tuhan. Sedangkan harapan kepada Tuhan itu sendiri adalah justru salah satu makna iman, yang antara lain melahirkan rasa aman (al-iman melahirkan al-amn). Kemudian ibadat yang tidak melahirkan kesadaran sosial itu akan kehilangan maknanya yang hakiki, sehingga pelaku suatu bentuk ibadat formal tanpa kesadaran sosial itu justru terkutuk oleh Tuhan.

Ibadat merupakan salah satu sumber daya keruhanian manusia dalam menghadapi kesulitan. Maka ibadat sebagai pernyataan perjalanan seluruh hidup seseorang menuju Tuhan, jika dilakukan dengan penuh kesadaran dan konsistensi (istiqamah), akan membuat hidup kerta raharja, karena rasa aman berdasarkan iman. Sebab ibadat adalah pelembagaan atau institusionalisasi iman itu sendiri.

Tanggapan

Pada dasarnya memang ibadat adalah institusi iman, dimana ibadat adalah jembatan antara iman dan amal shaleh. Ibadat pula berimplikasi kepada iman dan amal kebaikan, dimana ibadat memperteguh dan meyakinkan keimanan dan ketaqwaan seseorang kepada Allah. Dengan ibadat pula maka seseorang akan tergerak hatinya untuk selalu peka terhadap social dan melakukan amal kebajikan.

Maka sangat disayangkan ketika ada yang mempertajam keimanannya dengan mengesampingkan ibadat, begitu pula sebaliknya ada orang yang sangat dermawan antar sesamanya akan tetapi dia merasa tidak perlu akan ritual ibadatnya karena sudah merasa cukup dengan perbuatannya. Padahal ibadat adalah penyeimbang antar keduanya, Allah memberikan sebuah pembelajaran dan pendidikan lewat ritual ibadat supaya umatnya mempunyai keseimbangan untuk menjalani kehidupannya antara hal yang bersifat dunia dan akhirat.

Ibadat juga dalam Islam bukanlah sebuah pengekangan dan perbudakan akan tetapi bagaimana seorang hamba bersyukur dan berserah diri kepada Allah, Serta rasa penghambaan yang sangat tulus yang harus dilaksanakan dan dijadikan sebuah kebutuhan bagi kehidupan umat Islam. Karena dengan ibadatlah kita bisa menyesuaikan kehidupan ini dengan seimbang dan bijaksana. Dan ibadat pula adalah salah satu cara yang diberikan oleh Allah untuk bisa mencapai kepada sang khaliq Yang Maha Esa.

Tidak ada komentar: