Senin, 20 Agustus 2007

Rasionalitas Perintah-Perintah Hukum : Masalah Sebab Akibat

Oleh : Amas Syaepul Arifin


Hukum dalam masyarakat beragama adalah Ilahiah. Sesungguhnya, ia didasarkan pada nash Kitab suci. Kitab suci yang diwahyukan ini turun ke seorang nabi dalam suatu masyarakat, masa dan tempat tertentu, dimana ia hidup dan memulai gerakannya. Islam merupakan pesan tuhan yang terkhir di bumi. Kitab sucinya, al-Qur’an abadi.islam menyesuaikan diri dengan kondisi social masyarakat yang berubah sesuai dengan perkembangan zaman.
Proses penyesuaian tersebut dilakukan atas dua dasar, yaitu (1) dengan melaksanakan semangat dan nilai perintah-perintah di mana unsure local terkandung, dan (2) dengan perluasan analogis. Proses ini muncul karena asumsi bahwa hukum Tuhan bertujuan bagi kesejahteraan manusia.karena itu, hukum tersebut rasional dan tunduk pada sebab akibat (ta’lil). Masalahnya adalah sejauh mana perintah-perintah Ilahi itu rasional. Dan apakah hukum Tuhan sejalan dengan penalaran dan sebab akibat? Al-Qur’an mengarahkan diri pada pikiran manusia. Ia tidak menuntut masyarakat meyakini ajaran-ajarannya secara membabi buta. Ia mengajak, baik orang-orang beriman maupun kafir, untuk ‘mereflesikan’, ‘memahami’, ‘merenungkan’, dan menggunakan akal dan indera mereka dan ‘bukan mengunci hati mereka’ ketika meyakini pesan Tuhan. Al-Qur’an mengajak akal, sebelum ia mengajak manusia untuk beriman. Al-Qur’an juga berbicara panjang lebar tentang argumen kebenaran nabi. Dan keyakinan kepada kehidupan sesudah mati dijelaskan secara logis dan panjang lebar. Ritual-ritual dalam al-Qur’an juga didasarkan pada akal. Betul, al-Qur’an menuntut ketaatan tanpa syarat kepada Tuhan dan Nabi, sebagai otoritas dan pemberi hukum tertinggi. Tetapi pada saat yang sama, ia mendesak manusia untuk memahami semangat dan tujuan perintah-perintah tersebut. Tujuan al-Qur’an dalam ketentuan-ketentuan hukumnya, meskipun unsure hukum dalam pengertian istilahnya yang kaku sangat sedikit jumlahnya, adalah kesejahteraan dan kebaikan manusia. Ia bertujuan membangun manusia dan masyarakat ideal yang lebih banyak didasarkan pada moralitas ketimbang hukum. Akibat penekanan yang diberikan oleh al-Qur’an pada pendekatan rasional terhadap perintah-perintah tersebut, sejumlah hadits Nabi tidak diterima sebagai shahih oleh sebagian shahabat. Dengan berkembangnya penalaran yang sitematis dalam hukum, lalu muncul masalah otoritas. Ini menjadi titik perdebatan yang penting dalam teologi. Masalahnya adalah apakah perbuatan baik atau buruk ditentukan oleh akal atau otoritas, yakni pemberi hukum (syar’i) ada tiga pandangan mengenai masalah ini. Mu’tazilah menegaskan bahwa penentu perbuatan baik atau buruk adalah akal.


Al-Asy’ari, sebagai pemikir atomistik, berpendapat bahwa nilai-nilai perintah-perintah hukum atau moral tidaklah obyektif. Tidak ada baik atau buruk per se. baik dan buruknya perbuatan diketahui melalui otoritas. Sedangkan Maturidiyyah menggunakan jalan tengah. Mereka tidak memberikan kepada akal otoritas penuh, tetapi juga tidak mengabaikannya. Mereka berpendapat bahwa akal sangat penting untuk menetapkan kapasitas hukum seseorang. Seseorang tidak dapat memahami komunikasi Tuhan (Khitab) dengan manusia tanpa akal. Karena itu, akal merupakan qua non (sesuatu yang esensial) bagi kewajiban hukum (taklif). Tuhan adalah otoritas mutlak yang menjadikan sesuatu boleh atau tidak boleh, dan menjadikan perbuatan baik dan buruk melaui hukumnya. Akal berperan sebagai instrumen, dan Tuhan sebagai pelaku absolut. Maturidiyyah berpendapat bahwa baik buruknya perbuatan diketahui oleh akal, tetapi tidak menentukan. Akal merupakan petunjuk (dalil) dan jalan (thariq) untuk memperoleh pengetahuan. Dan juga mereka menegaskan bahwa akal tidak dapat sepenuhnya diabaikan. Ia bukanlah otoritas yang berdiri sendiri bagi nilai-nilai untuk menfasilitasi masyarakat, tetapi nilai-nilai tersebut bukan sebab-sebab perintah yang benar-benar mandiri. Menurut al-Ghazali akal hanya petunjuk, Tuhan adalah penentu (murajjih), Nabi adalah pemberitahu (mukhbir), mu’jizat sebagai sebab (sabab), yang memungkinkan orang yang sama memahami ketentuan, watak adalah motif (ba’its) dan akal adalah instrument (alah) yang dengannya seseorang memahami kebenaran pembawa berita. Al-Syatibi berpendapat bahwa dalil-dalil rasional (al-adillah al-‘aqliyyah) harus digunakan dalam hukum, baik dikombinasikan dengan dalil-dalil tradisional, atau dengan membatasi posisinya atau dengan menyelidiki nilai atau motivasinya yang benar. Dengan baik dikatakan bahwa tidak dianjurkan untuk mengikuti suatu hadits tanpa menggunakan pendapat (yakni, akal), demikian juga mengikuti pendapat ( yakni, akal) tanpa merujuk pada suatu tradisi. Penetapan hukum mensyaratkan kombinasi yang baik antara akal dengan tradisi. Dari perdebatan seputar baik dan buruknya perintah-perintah hukum, muncul masalah sebab-akibatnya (ta’lil al-ahkam). Ada empat pandangan mengenai hal ini : pertama, sesungguhnya perintah-perintah hukum yang didasarkan pada nash yang jelas tidaklah mempunyai sebab-akibat, tidak mempunyai sebab dan motif yang mendasari, kecuali jika terdapat dalil yang menunjukkan bahwa perintah-perintah tersebut mempunyai sebab-akibat. Kedua, perintah-perintah hukum bersifat kausal, dan suatu perintah disebabkan oleh setiap kualitas yang mampu berperan menjadi sebab sebab perintah, sehingga ia dapat dinisbatkan kepada sebabnya, kecuali jika ada halangan yang merintangi beberapa kualitas untuk menjadi sebab perintah. Ketiga, perintah-perintah bersifat kausal, dan suatu perintah hanya disebabkan oleh suatu kualitas, dengan syarat ada dalil yang membedakannya dari kualitas-kualitas lain. Dan menunjukkan ia sesuai dengan perintah tersebut. Keempat, perintah-perintah hukum bersifat kausal, dan suatu perintah hanya disebabkan oleh satu kualitas saja. Perintah-perintah hukum bukanlah tujuan dalam diri mereka. Perintah-perintah tersebut mempunyai tujuan dan sasaran di balik mereka. Singkatnya, hukum dimaksudkan untuk kemaslahatan dan kesejahteraan rakyat. Hukum bertujuan untuk memelihara lima hak asasi manusia, yaitu memelihara agama, kehidupan, akal, keturunan, dan harta mereka.


Kepentingan umum terbagi kedalam tiga kategori, kebutuhan-kebutuhan primer (dharuriyyat, necessities), kebutuhan-kebutuhan sekunder (hajiyyat, needs), dan kebutuhan-kebutuhan tambahan (tahsiniyyat, super fluities). Kepentingan umum merupakan sumber hukum yang berdiri sendiri. Ia merupakan sarana untuk memelihara tujuan dan sasaran Syari’ah. Sasaran Syari’ah diketahui melalui al-Qur’an, Sunnah dan Ijma’. Dan secara teknis, ia disebut mashlahah mursalah (kepentingan umum yang lepas dari nash). Tidak setiap perintah hukum dapat dikenai sebab-akibat atau penilaian. Perinatah-perintah itu sendiri dapat dibagi ke dalam tiga kategori, yakni yang dapat dikenai sebab-akibat, tidak dapat dikenai sebab-akibatdan kasus-kasus yang diragukan.qiyas tidak berlaku bagi kasus-kasus yang kasus asalnya tidak dapat dikenai oleh sebab-akibat. Ada perbedaan pendapat tentang masalah sebab-akibat perintah. Ulama Hanafi, sekelompok Syafi’iyyah dan kaum teolog berpandangan bahwa perintah-perintah mempunyai sebsb-sebab, dan perintah-perintah tersebut dinisbatkan kepada sebab-sebabnya secara kiasan. Asy’ariyyah menisbatkan perintah-perintah yang mengungkap hukuman dan hak-hak manusia kepada sebab-sebabnya, tetapi tidak dalam masalah yang berkaitan dengan ibadah dan ritual. Pandangan yang ketiga menolak sama sekali sebab-sebab perintah.para pendukung pandangan ini berpendapat bahwa ketetapan hukum ditentukan oleh kata-kata nash yang jelas. Sebab-sebab tidak mempunyai hubungan dengan langsung dengan perintah-perintah. Sebab-sebab itu merupakan pengganti perintah Tuhan yang tak terlihat. Perintah kewajiban-kewajiban dan tuntutan yang harus dipenuhi ada dua hal yang berbeda. Perintah menjadi mengikat karena sebabnya, tetapi pemenuhannya dituntut dari orang-orang yang beriman oleh wahyu. Kehendak dan kemampuan manusia tidak terlibat dalam mewajibkan perintah ; kehendak dan kemampuan tersebut diperhatikan ketika ia dituntut untuk menaati. Akal dan dan tanda-tanda tidak mengikat keimanan, tetapi perintah Tuhan yang mengikatnya. Dengan dominannya teori atomisme dalam Islam berkat pengaruh al-Asy’ari, keyakina menjadi ajaran dasar. Akal menjadi disubordinasikan kepada keyakinan. Akal, kata Ibnu Taimiyyah, tidak dimaksudkan untuk menetapkan keabsahan hukum (Syari’ah). Ia juga tidak memberikan kepada hukum kualitas yang tidak dimilikinya, atau menambah sesuatu agar hukum tersebut menjadi sempurna. Ibnu Taimiyyah lebih jauh melihat bahwa wahyu supra-rasional. Hukum Tuhan lebih tinggi ketimbang akal. Sebenarnya, ada keselarasan antara hukum Tuhan dengan akal. Ketetapan hukum yang didasarkan pada al-Qur’an dan Sunnah tidak pernah bertentangan dengan akal. Suatu masalah bias jadi bersifat hukum dan rasional, karena ia dipahami oleh akal dan diwahyukan melalui hukum. Ibn Taimiyyah melihat bahwa tidak mesti bahwa sesuatu yang secara rasional salah harus dianggap sebagai kekufuran oleh hukum. Demikian juga, sesuatu yang secara rasional benar tidak otomatis diakui dalam hukum. Fakhruddin al-Razi (w. 606 H) menegaskan bahwa Tuhan tidak memperhitungkan kepentingan umum (mashlahah) dalam perintah-perintah-Nya. Jika perbuatan Tuhan didasarkan pada motif tertentu, dan kesejahteraan umum dipertimbangkan dalam perintah-perintah-Nya, ia tidak akan melanjutkan wahyu, terutama setelah merealisasikan konsekuensinya.akan tetapi argument al-Razi ini tidak dapat dipertahankan karena kita ketahui bahwa al-Qur’an tidak pernah memberi tahu kita bahwa wahyu Tuhan menyebabkan meningkatnya pemberontakan dan kekufuran orang-orang kafir. Sebaliknya, ia menggambarkan watak mereka yang sesat dan sikap keras kepala mereka yang membandel.

Al-Syatibi menegaskan bahwa tidak harus melihat motif dan sasaran perintah-perintah. Seorang beriman harus tunduk pada kehendak Tuhan. Perintah Tuhan, sesungguhnya, merupakan manifestasi kehendaknya. Ia menganggap bahwa melihat pada motif dan tujuan perintah merupakan penghalang bagi ketulusan dalam menta’ati Tuhan. Jika seseorang mentaati perintah Tuhan tanpa melihat motif hukum dan tetap tidak tahu tujuannya, tidak ada bahaya baginya. Ini bisa jadi benar, tetapi hukum tidak dapat diperluas pada kasus-kasus yang tak memiliki preseden tanpa memperhatikan motifnya. Prinsip qiyas diformulasikan untuk tujuan ini. Lebih jauh, tujuan, motif dan ratio (alasan) perintah akan diperhitungkan oleh berbagai cara saat penetapan hukum. Keabadian pesan al-Qur’an mensyaratkan bahwa penekanan harus diberikan pada semangat, nilai dan etos perintah-perintah Tuhan sejalan dengan kata-katanya. Perintah-perintah itu sangat terbatas, sedang situasi tidak pernah berakhir. Karena itu, hukum harus diterapkan melalui pemikiran, dan bukan dengan ketaatan literal.

Tidak ada komentar: